Blogger Widgets PRIVAT BAHASA ARAB BACA KITAB KUNING JAKARTA: POTRET PERSAHABATAN HINDU-ISLAM
Tingkatkan totalitas menghamba dengan memaksimalkan peran Al-Qur'an dan Al-Hadits, serta peran akal dalam menggapai apa pun yang ingin kita capai dalam dunia atau pun akhirat

Kamis, 14 November 2019

POTRET PERSAHABATAN HINDU-ISLAM



Oleh Lufaefi

Intimidasi terhadap pemeluk salah satu keyakinan keagamaan saat menggelar upacara perayaannya kembali terjadi. Kali ini terjadi di Dusun Mangir Los, Desa Mangir, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sebuah upacara yang diperingati dalam rangka memperingati Mahalingga Padma Bhuwana Manggir, yang merupakan sebuah situs peninggalan dari Ki Ageng Mangier, dibubarkan paksa.

Upacara yang dilakukan umat Buddha dan Hindu itu dianggap tidak patut oleh sekelompok orang Islam. Dengan alasan yang ambigu, adat agama Hindu-Buddha tersebut dianggap tidak layak diperingati di sebuah rumah warga, dan harus dilakukan di tempat ibadah. Pertanyaannya, apakah shalat lima waktu juga harus dilakukan di rumah, dan harus selalu di masjid?

Dalam catatan sejarah, umat Hindu dan Islam keduanya hidup dalam kesalingan. Potret nyata itu terbaca dalam Peristiwa pengambilalihan sembilan Dewa dalam hindu (Nawa Dewata) diganti dengan sembilan Wali (Wali Songo). Dalam proses pengambilan itu interaksi antar orang Hindu dan para wali begitu intens. Dalam berdakwah, para utusan Allah tersebut tidak 'memberangus' dewa-dewa kepercayaan Hindu, akan tetapi mengakulturasikannya dari sembilan Dewa menjadi sembilan wali. Orang Hindu tidak menolak apalagi dendam. Mereka merasa dihormati dan diutamakan oleh orang-orang Islam.

Meskipun sembilan Dewa dalam Hindu itu secara simbolik tidak islami, para Wali tidak merusak, apalah menolak dan melecehkan. Para Wali justru membiarkan simbol sembilan Dewa agama Hindu itu berada di mihrab dan bagian depan masjid Demak. Para Wali tidak terlalu terganggu dengan simbol-simbol Dewa dalam beribadah. Yang terpenting orang psikologi orang Hindu merasa segan dengan kehadiran orang Islam sebagaimana diri mereka. Dengan itu, persahabatan dan kedekatan antar para Wali dan petinggi Agam Hindu terus terjalin mesra.

Kerajaan Majapahit yang juga menjunjung tinggi sembilan Dewa dalam Hindu itu juga menjadi ladang para Wali mengais persahabatan dan memancarkan emosional. Sunan Giri misalnya, ia menjadi Dokter pribadi kerajaan Majapahit yang didominasi orang Hindu dan Buddha. Selain itu, Sunan Ampel pun menjadi menantu salah satu petinggi kerajaan Majapahit. Para Wali mendakwahkan Islam melalui sisi emosional, kedekatan, kekeluargaan, hingga perkawinan. Demi tersebarnya Islam, mereka rendah hati dan mau mengabdikan diri pada orang Hindu.

Apa yang dilakukan para wali dalam proses pengambilalihan itu tidak membuat orang Hindu kaget, marah, menolak, apalagi dendam. Mereka justru rindu dengan kehadiran para wali dalam interaksi antar mereka. Hal itu yang membuat orang Hindu mudah mengenal ajaran Islam, dan bahkan dengan rela hati memeluk Islam. Pendekatan dakwah para Wali yang cukup persuasif berhasil menjunjung tinggi Islam, tanpa melukai pemeluk dan keyakinan agama lain.

Brebes, 15 November 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar