Blogger Widgets PRIVAT BAHASA ARAB BACA KITAB KUNING JAKARTA: RESPON MENJERAT GUS DUR
Tingkatkan totalitas menghamba dengan memaksimalkan peran Al-Qur'an dan Al-Hadits, serta peran akal dalam menggapai apa pun yang ingin kita capai dalam dunia atau pun akhirat

Rabu, 01 Januari 2020

RESPON MENJERAT GUS DUR



Lufaefi
________

Lahirnya buku Menjerat Gus Dur yang mengungkap oknum-oknum pencopotan Gus Dur secara paksa menuai ragam komentar Netizen. Sebagian besar, tidak semua, yang pro dengan Gus Dur senang sekaligus berupaya untuk waspada ke depan dalam melihat siapa kawan dan siapa lawan. Sebagian yang lain merasa fakta dalam buku tersebut sudah tidak relevan dibahas, menganggap fakta dalam buku tersebut merupakan suatu keniscayaan politik demokrasi, dan bahkan ada yang apatis-masa bodoh.

"Jangan sesekali melupakan sejarah". Kalimat ini kiranya tepat untuk membaca fakta dalam buku Menjerat Gus Dur. Pelengseran Gus Dur yang kejelasannya masih misterius hingga 10 tahun terakhir kini terungkap gamblang. Meski tidak menutup kemungkinan masih ada dalang-dalang lain yang saling terkoneksi, setidaknya deretan tokoh-tokoh yang diungkap Virdika dalam bukunya membuka tabir yang selama ini jadi pertanyaan banyak masyarakat.

Benar yang dikatakan putri sulung Gus Dur Alissa Wahid dalam endorsment buku itu, bahwa buku tersebut tidak untuk menaruh dendam pada tokoh-tokoh yang telah melengserkan Gus Dur dengan sangat keji itu. Tapi sebagai ibrah agar bangsa tidak terus terkungkung dalam warisan sejarah kelam yang gelap gulita, dan agar sejarah dapat diluruskan supaya generasi bangsa bisa menentukan jalan yang benar untuk memegang warisan NKRI. Dengan diungkapnya tokoh-tokoh pemakzulan Gus Dur, bangsa dapat waspada kepada setiap orang. Tidak mudah percaya kepada siapapun. Apalagi dalam persoalan politik.

Kita perlu merenungkan dan tentu berterima kasih pada penulis buku itu. Betapa fakta-fakta dalam buku itu mengajarkan kita untuk hidup di dunia demokrasi secara lebih cermat. Lebih dari itu, perlu melek sejarah bahwa bangsa ini sudah sejak lama dikuasai oligarki yang memainkan politik transaksional demi perut kekuasaan. Para pemuda perlu melek dan bergerak di bidangnya masing-masing untuk memperbaiki kondisi demokrasi bangsa Indonesia yang masih belum sehat dari kanker demokrasi transaksional itu.

Dari buku tulisan anak sejarah itu kita bisa membaca bahwa karena urusan kekuasaan dan uang, siapapun, bahkan seorang Guru Besar dan Cendekiawan Islam pun siap pasang badan melakukan hal yang bagi masyarakat awam sungguh tidak wajar, di luar dugaan, dan mengagetkan, dengan menggunakan kemampuan intelektualnya untuk membuat narasi yang mengecoh masyarakat. Pelajaran dari sini bahwa anak bangsa perlu teliti dan kritis dalam membaca dan memahami seorang tokoh. Tidak asal percaya hanya karena title atau kecerdasannya.

Buku yang mengungkapkan pelengseran Gus Dur itu menyebut sederet tokoh dari tokoh politik, pengusaha kelas kakap, aktivis Himpunan Mahasiswa, mahasiswa dari beragam kampus, yang semuanya sudah disetir secara rapih oleh dalang utama dan disebut disiapkan uang sebesar 4 T dari tokoh politik partai. Semuanya demi tujuan yang satu, "melengserkan Gus Dur secara paksa". Pertanyaan besarnya, apakah pada saat itu tokoh-tokoh ini, utamanya para Cendekiawan, tidak peduli dengan akan adanya pertumpaham darah anak bangsa? Andai dulu Gus Dur membiarkan pasukan dari Jawa untuk melawan, mungkin sudah banyak darah yang bercecer. Namun Gus Dus sebagai Bapak Bangsa, enggan sedikit pun mau semua itu terjadi, dan ia menyerahkan kekuasaan yang baginya tak perlu diperjuangkan mati-matian itu.

Fakta dalam buku tersebut jangan sampai menjadi dendam para Gus Durian kepada tokoh-tokoh itu apalagi kepada junior-junior yang ada dalam tubuh organisasi yang terkoneksi dengan mereka. Mereka memiliki harapan besar masuk di berbagai organisasi yang terafiliasi dengan tokoh-tokoh pelengseran Gus Dur itu. Namun harapan besarnya tentu semoga generasi selanjutnya tidak berlaku kejam seperti diungkap dalam buku karya mahasiswa UNJ itu. Cukuplah fakta buku itu menjadi pelajaran, kewaspadaan, dan berusaha menciptakan politik yang memiliki hati nurani.

Gus Dur dalam pelengserannya tidak pernah dendam kepada siapapun. Bahkan beliau silaturahmi ke MSP setelah MSP itu juga ikut masuk dalam konspirasi pelengseran Gus Dur itu. Gus Dur memaafkan semua bangsa Indonesia, bahkan kepada MSP dan AR yang merupakan dua orang paling terdepan dalam pelengserennya. Sehingga baginya ia tidak memiliki musuh di Indonesia ini. Bagi Gus Dur ada yang lebih penting daripada politik dan kekuasaan, yaitu kemanusiaan dan harkat martabat bangsa. Semoga fakta-fakta buku itu menjadi asupan nalar yang dapat memompa semangat generasi bangsa untuk tidak berlaku seperti fakta sejarah yang tak secuilpun pantas ditiru itu. Amin.

Jakarta, 1 Januari 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar