Abstract:
Hadith as the second source of law after the Koran became the great
heritage of Muslims believed to be authenticity. But beyond the fact, not a few
of the scholars of Hadith even questioned even the authenticity of the hadith,
such as Ignaz Goldziher and Joseph Schacht who say that the hadith does not
exist except that the traditions of pre-Islamic Arab ancestors were later
stamped from Muhammad. There is no original hadith from the Prophet, nor from
his sanad. The explosions echoed by this orientalist got critical responses
from M. Mustafa Azami. According to him, the hadith of the prophet is authenticated
either scientifically or historically. To the conclusion must use the method of
criticism of hadith, not just rational. And, sanad circumstances even though
true and came to the Prophet. Azami believes the above with evidence of
discussion activities and memorization of Hadith of the Prophet, the writings,
the spread of the hadith of friends, and the madhhaf of the Companions. The
Orientalist's mistake about examining it with the book of fiqh and history, not
the book of hadith directly.
Abstract: M. Mustafa 'Azami, Authenticity, Orientalist.
Abstrak
Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran menjadi warisan
agung umat Islam yang diyakini keotentikannya. Namun di luar faktanya, tidak
sedikit para pengkaji hadis yang justru meragukan bahkan menolak keautentikan
hadis, seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht yang mengatakan bahwa hadis
tidaklah ada kecuali merupakan tradisi nenek moyang Arab pra-Islam yang
kemudian dicap dari Nabi Muhammad.
Tidak ada satu hadispun yang asli dari Nabi, pun dari sisi sanadnya.
Letupan-letupan yang digemakan oleh orientalis ini mendapat tanggapan kritis dari
M. Mustafa Azami. Menurutnya, hadis nabi dipastikan autentiknya baik secara
ilmiah atau historisitasnya. Untuk pada kesimpulan tersebut harus menggunakan
metode kritik hadis, bukan sekadar rasional. Dan, keadaan sanad sungguh pun
benar adanya dan sampai pada Nabi. Azami meyakini hal di atas dengan bukti
adanya aktivitas diskusi dan hafalan hadis Nabi, tulis-menulis, penyebaran hadis
masa sahabat, dan mushaf-mushaf para sahabat. Kesalahan orientalis tentang
karena menelitinya dengan kitab fikih dan sejarah, bukan kitab hadis secara
langsung.
Abstrak: M. Mustafa ‘Azami, Autentisitas, Orientalis.
A. Pendahuluan
Sebagian orientalis berpendapat bahwa hadis pada awal perkembangannya
tidak tercatat sebagiamana al-Qur`an. Tradisi yang berkembang pada waktu itu
terutama pada masa Nabi dan sahabat adalah tradisi oral (lisan), bukan tradisi
tulis. Hal ini tentu menimbulkan adanya kemungkinan banyak hadis yang
otentisitasnya perlu dipertanyakan atau bahkan diragukan sama sekali. Namun
demikian, sebagian orientalis sendiri seperti Fuad Seizgin berpendapat bahwa di
samping tradisi oral, sebenarnya juga telah ada tradisi tulis pada zaman Nabi,
disamping hafalan mereka sangat kuat.[1]
Tidak ditulisnya hadis secara resmi pada zaman
Nabi dan sahabat itu lebih disebabkan antara lain; Pertama, karena Nabi
sendiri memang pernah melarangnya meskipun diantara sahabat atas izin Nabi juga
telah mencatat sebagian hadis yang disampaikan Nabi. Kedua, karena
sebagian besar sahabat cenderung lebih memperhatikan al-Qur`an untuk dihafal
dan ditulisnya pada papan, pelepah kurma, kulit binatang dan lain sebagianya.
Sedangkan terhadap hadis Nabi sendiri, disamping menghafalnya, mereka cenderung
langsung melihat praktek yang dilakukan Nabi, kemudian mereka mengikutinya. Ketiga,
karena ada kekhawatiran terjadinya iltibas (campur aduk) antara ayat
al-Qur`an dengan hadis.[2]
Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan
otentisitas hadis. Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini
sebagai sasaran utama untuk membangun teori yang mengarah pada peraguan
terhadap otentisitas hadis. Goldziher misalnya, telah memastikan untuk mengingkari
adanya pemeliharaan hadis pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriah. Pendapatnya
inilah yang kemudian diamini oleh generasi setelahnya yaitu Joseph
Schact.
Sedikit sekali kalangan orientalis yang meneliti hadis Nabi dan
mereka yang menelitinya serta sampai pada suatu kesimpulan yang jumlahnya tidak
lebih dari jari-jari tangan. Namun demikian penelitiannya juga tidak matang dan
metodenya juga tidak ilmiah. Karya-karya Schacht dapat dianggap sebagai
puncaknya karya-karya mereka dalam masalah ini, ia menjadi rujukan penting dan
pokok untuk penulisan-penulisan di Barat, bahkan juga di Timur. Mereka telah
melakukan suatu hal yang membahayakan dalam sejarah penelitian hadis Nabi dan
hal-hal lain yang masih ada hubungannya dengan itu.[3]
Dari situlah
mereka membidikkan serangannya untuk merontokkan nilai hadis-hadis Nabi. Mereka
menyerang dan mengeritik hadis dari berbagai segi. Diantaratanya mereka ada
yang mengartikan bahwa hadis itu adalah hal-hal yang sudah menjadi tradisi di
kalangan ulama dan bukan berarti hadis yang berasal dari Nabi. Ada pula yang
menolak hadis sebagai sumber hukum Islam dan ada juga yang menuduh bahwa hadis
baru ditulis pada saat belakangan sehingga keotentikannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan, sebab sekedar kekuatan hafalan seseorang tidak dapat
dijadikan pegangan terutama untuk masa yang cukup lama itu. Ada pula yang
mengatakan bahkan sanad hadis baru muncul pada akhir abad pertama dalam bentuk
yang sangat sederhana dan baru dikembangkan kemudian. Ada pula yang mengatakan
bahwa sanad baru terdapat pada abad kedua dan penyempurnaannya baru dilakukan
pada abad ketiga.[4]
Letupan-letupan para orientalis di atas tentu
saja membuat telinga umat Islam memerah sebagai umat yang menjadikan hadis
sebagai sumber hukum agama kedua setelah
al-Quran. Salah satu tokoh Muslim yang mengomentari bahkan menolak dengan tegas
pendapat-pendapat orientalis terkait otentisitas hadis, kemustahilan sanad, dan
juga kodifikasi hadis adalah M. Mustafa ‘Azami.
B.
Mengenal M. Mustafa ‘Azami
Muhammad Mustafa Azami lahir di kota Mano, India Utara, tahun
1932. Ayahnya pencinta ilmu dan membenci penjajahan, serta tidak suka bahasa
Inggris. Watak ini mempengaruhi perjalanan studi Azami, di mana ketika masih
duduk di SLTA beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke Sekolah Islam yang
menggunakan bahasa Arab. Dari sinilah Azami mulai belajar Hadits. Tamat dari
Sekolah Islam, Azami lalu melanjutkan studinya di College of Science di
Deoband, sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam,
dan tamat tahun 1952. Kemudian Azami melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa
Arab, Jurusan Tadris, Universitas al-Azhar, Cairo, dan tamat tahun 1955 dengan
memperoleh ijazahal-‘Alimiyah. Tahun itu juga beliau kembali ke
tanah airnya, India.
Tahun 1956 Azami diangkat sebagai Dosen Bahasa Arab untuk
orang-orang non Arab di Qatar. Lalu tahun 1957 diangkat sebagai Sekretaris
Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah). Tahun 1964 Azami
melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge, Inggris, sampai meraih
gelar Ph.D. tahun 1966 dengan disertasi berjudul Studies in Early
Hadits Literature. Lalu beliau kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan
semula. Tahun 1968 beliau mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah
ke Mekkah untuk mengajar di Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi
Islam, Universitas King ‘Abd al-‘Aziz (kini Universitas Umm al-Qura). Beliau,
bersama al-Marhum Dr. Amin al-Mishri, termasuk yang ikut andil mendirikan
fakultas tersebut.
Tahun 1973 (1393 H) beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar di
Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Dan di
Universitas ini Ali Mustafa Yaqub bertemu dengan Azami sebagai murid dan guru,
di mana setelah tamat ia mendapat amanat dari Azami untuk menerjemahkan
buku-bukunya. Reputasi Ilmiah Azami melejit ketika pada tahun 1400 H / 1980 M
beliau memenangkan Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam dari
Lembaga Hadiah Yayasan Raja Faisal di Riyadh.[5]
Dalam referensi
yang lain disebutkan bahwa Mustafa ‘Azami lahir di awal tahun 1932 di Mau, India.
Sarjana Mudanya diraih di Universitas Darul Ulum, Deoband, India (1952).
Pendidikan Masternya diselesaikan di Universitas Al Azhar, Mesir pada 1955.
Adapun gelar Ph.D-nya (doktoral) diraih dengan predikat summa cumloude dari Universitas
Cambridge pada 1966 lewat desertasinya yang fenomenal di dunia islam dengan
judul 'on the schact's Mohammaden jurisprudence'. Dalam kesehariaannya, al-A’zami bekerja sebagai seorang guru/pengajar bahasa Arab, dan mendapatkan
gelar yang tinggi dari Univesitas Cambridge. Setelah itu, ia pergi ke
Hizaj dan mengajar di Fakultas Syari'ah di Makkah, dan di kampus
ini al-A’zami didaulat sebagai pengajar Ilmu Musthalah al-Hadits
di bidang Budaya Islāmiyah.[6]
Saat ini ia menjadi guru besar emeritus pada Univ. King
Saud (Riyadh), pernah juga menjadi associate professor di Jami'ah Al Islamiyyah
Ummul Quro', Makkah, guru besar tamu di beberapa universitas di Barat seperti di Univ.
Michigan dan Oxford seta menjadi professor tamu di islamic studies di Univ. Princeton.[7]
C.
Karya-Karya M. Mustafa ‘Azami
Azami dikenal
sebagai pemikir hadis yang mampu memberi warna dan terlibat diskusi panjang
dengan kalangan Barat. Sebagian besar pemikiran Azami, terutama terkait dengan
hadis dan kritikan kepada orientalis, dielaborasi dalam empat buku: Studies
in Early Hadith Literature, On
Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, Studies in Hadith Methodology
and Litareture, dan Manhaj an-Naqd
‘Inda al-Muhaddisin Nasy’atuhu wa Tarikhuh.
Studies
in Early Hadith Literature, merupakan karya orisinal yang terbagi kepada delapan
bab pembahasan. Dalam tulisannya ini, Azami memaparkan keadaan hadis nabi yang
menurutnya masih berada pada tataran sumber ajaran Islam yang dapat
dipercaya/autentik. Keautentikan ini dibuktikannya sejak masa periwayatan,
penulisan, pembukuan ke dalam kitab-kitab kanonik. Tampaknya Azami lebih
menekankan keautentikan hadis pada sisi sanad sebab di dalam buku ini
dirinya mendiskusikan secara luas keberadaan sanad dalam menjaga
keautentikan hadis. Buku ini secara khusus banyak membantah teori dan pemikiran
Barat tentang keautentikan hadis.[8]
Karya
Azami berikutnya adalah On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence. Secara
umum tulisan ini bertujuan untuk menyerang pemikiran Ignaz Goldziher dalam
bukunya, An Introduction to Islamic Law dan Schacht. Kedua buku
tersebut, khususnya karya Schacht telah menjadi kiblat para orientalis lain
yang membincangkan hukum Islam yang tak terbantahkan. Buku Azami ini terbagi ke
dalam dua bagian, bagian pertama terdiri dari dua bab yang menguraikan
pandangan Azami tentang hukum Islam dan peranan nabi dalam pembentukan hukum.
Pada bagian kedua dari buku ini dipilah menjadi enam bab.[9]
Berangkat dari dua tulisan di atas, Azami tidak dapat dipisahkan dari
konteks pemikiran hadis yang terjadi kala itu, baik di kalangan ulama Muslim
dan sarjana Barat. Tujuan dari kajian yang dilakukan Azami adalah menjelaskan
dan membela hadis dari orang-orang yang akan meragukan keberadaannya sebagai hujjah
hukum Islam. Ia dikelompokkan dalam golongan orang yang membela hadia dari
serangan para sarjana Barat dan yang mengikuti pola pikir mereka yang bersikap
skeptis terhadap hadis.
Karya lain Azami terkait
metode kritik hadis dalam Islam tertuang dalam tulisannya, Manhaj an-Naqd
‘Inda al-Muhadditsin, Nasy’atuhu wa Tarikhuhu. Menurut Azami, kritik hadis
dalam Islam telah dimulai sejak masa sahabat. Para sahabat seringkali melakukan
kritik terhadap sahabat lain dalam riwayat hadis. Kajian kritik hadis lebih
cenderung memuat pendapat para ulama hadis terhadap kepribadian sahabat.
Termasuk di dalamnya juga mengkritik pandangan orientalis seperti Goldziher,
Schacht, A.J. Wensinck dan lainnya dalam melakukan kajian sanad dan matan
hadis. Dalam buku Manhaj an-Naqd ini, Azami membahas berbagai
persoalan terkait kritik hadis terbagi ke dalam enam bab.[10]
Beberapa karya
tulis Azami lainnya lebih kepada bentuk pengeditan dan komentar, misalnya ia
membuat catatan penting atas kitab, Tamyiz dalam Shahih Muslim yang
diberi judul, Introduction to Kitab Tamyiz. Dalam tulisan terakhir ini,
ia banyak mengungkap pentingnya ilmu hadis dalam rangka menelusuri dan menjaga
hadis-hadis Nabi Saw. Menurut Azami, kitab Tamyiz ini adalah salah satu
karya yang amat penting terkait metodologi kritik hadis. Al-Albani (1914-1999
M) memprediksi kitab ini ditulis pada abad ketujuh atau kedelapan Hijriyah.
Pertimbangannya, huruf yang digunakan lebih besar dengan model huruf yang ada
sekarang. Berkenaan dengan asal-usul kitab Tamyiz, as-Sam’ani menyebut
dalam kitabnya at-Tahbir, demikian Azami menjelaskan, bahwa ia
mendapatkannya melalui jalur sima’ dari gurunya Abi al-Qasim Mahmud bin
Abdurrahman bin al-Qasim al-Busti, yang diperoleh dari Ismail bin Abdul Ghafir
al-Farisi (451-529 H). Sebagian riwayat diterima melalui Abi Hafs bin Masrur
dan sebagian lainnya dari Abi Usman ash-Shabuni. Keduanya meriwayatkan dari Abi
Bakr al-Jauzaqi dari Abi Hatim Makki bin Abdan bin Muhammad bin Bakar bin
Muslim bin Rasyid an-Naisaburi (242-325 H).[11]
Selain itu, Azami juga mengtahqiq kitab shahih karya
Ibnu Khuzaimah. Dalam
buku ini ia berusaha menelusuri kebenaran setiap riwayat yang ada dalam karya
Ibnu Khuzaimah. Beberapa buku hasil pengeditannya yang lain di antarannya, al-`Ilah
of lbn al-Madini, Maghazi Rasulullah of `Urwah bin Zubayr, Muwatta Imam
Malik, dan Sunan ibn Majah.
Setelah lama mapan dalam studi hadis, belakangan Azami
merambah bidang studi lain, al-Qur’an. Namun inti kajiannya sama yakni
menyangkal studi orientalis yang menyangsikan otentisitas al-Qur’an sebagai
kitab suci. Azami menulis buku, The History of The Qur’anic Text, yang
berisi perbandingan dengan sejarah Perjanjian Lama dan Baru. Dalam buku ini, ia
banyak menyoroti pandangan orientalis yang selama ini dianggap benar terkait
al-Qur’an.[12]
D. Autentisitas Hadis Menurut M. Musthafa ‘Azami
D.1 Pembuktian Keotentikan Hadis
Menurut ‘Azami hadis nabi bukanlah
sekadar hasil produk budaya masa jahiliyyah, yang terkait ideal dan moral. Akan
tetapi adalah sunnah Nabi yang menjadi panutan umat yang bukan sama sekali
berbentuk pengambilalihan umat sebelumnya. Jikapun ada hanyalah tradisi yang
tidak melanggar ketentuan hukum Islam.[13]
Adapun pendapat Azami terkait
keotentiakan hadis, tidak lepas sebagai komentar kepada Ignas Goldziher dan J.
Schacht dalam
bukunya The Origins of Muhammad Jurisprudencye. Ia berkesimpulan bahwa tak ada satupun hadis nabi yang benar-benar otentik
berasal dari nabi, terutama hadis-hadis yang berkaitan dengan
fiqih. Bagi M. M Azami, otentisitas hadis itu sampai sekarang tetap
dapat dibuktikan secara ilmiah dan historis. Ia telah menunjukkan
fatwa bahwa semua masalah mengenai hadis Nabi bertumpu pada
masalah sentral tentang status sunnah yang merupakan sumber
ajaran kedua setelah setelah al-Qur’an. Kehidupan nabi merupakan
model yang harus diikuti oleh kaum muslimin tanpa terikat oleh
ruang dan waktu. Karena alasan ini, maka para sahabat bahkan
sejak beliau masih hidup telah mulai menyebarluaskan pengetahuan
tentang sunnah dan nabi sendiri juga memerintahkan mereka
melakukan hal itu.[14]
Untuk memperoleh otentitas hadis,
menurut Muhammad Mustafa Azami, maka seseorang harus melakukan kritik hadis. Menurutnya, kritik
hadis sejauh menyangkut nash atau dokumen terdapat beberapa
metode. Namun hampir semua metode tersebut dapat dimasukkan
dalam kategori perbandingan atau cross refference. Dengan mengumpulkan semua bahan yang berkaitan atau katakanlah semua
hadis yang berkaitan, membandingkannya dengan cermat satu
sama lain, orang akan menilai keakuratan para ulama. Dalam hal ini sebagaimana
dikutip Azami,
Ibn Mubarak pernah berkata: “untuk mencapai pernyataan yang otentik, orang perlu membandingkan kata-kata
para ulama’ satu dengan yang lain”.[15] Menurut M. M.
Azami, untuk memperoleh otentitas hadis, maka
seseorang harus melakukan kritik hadis baik itu menyangkut sanad hadis maupun matannya. Adapun rumusan metodologis yang ditawarkan
untuk membuktikan
keotentikan hadis adalah:
1. Memperbandingkan hadis-hadis dari
berbagai murid seorang guru.
2.
Memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari para ulama dari
beberapa waktu yang berbeda.
3. Memperbandingkan pembacaan lisan
dengan dokumen tertulis.
Mustafa Azami juga mengomentari
sanad hadis yang dinilai oleh Orientalis tidaklah asli dan hanya dibuat-buat
saja. Sehingga berkonsekuensi akan kettidakotentikan hadis Azami mengkritik
Schact sebagai orientalis ulung yang telah banyak mempengaruhi sanad hadis
tersebut.
Untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis, khususnya
Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M. M. Azami membantah teori
Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang
hadis-hadis nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik.
Di antaranya adalah naskah milik Suhayl bin Abi Salih (w.138 H). Abu Salih
(ayah Suhayl) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi
Saw. Naskah Suhayl ini berisi 49 hadis. Sementara Azami meneliti perawi
hadis itu sampai kepada generasi Suhayl, yaitu jenjang ketiga (al-tabaqah
al-thalithah), termasuk jumlah
dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar
20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencarpencar dan
berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai
Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya
sama.[17]
Azami berkesimpulan bahwa sangat
mustahil menurut
ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul
untuk membuat hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan
sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat hadis,
kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis
yang mereka buat itu sama. Kesimpulan Azami ini bertolak belakang
dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekontruksi terbentuknya sanad
hadis, maupun bunyi teks (matan) hadis tersebut. Sebagai contoh, Azami mengemukakan hadis yang
artinya di mana Nabi Saw. bersabda: Apabila salah
seorang di antara kamu bangun dari tidurnya,
maka hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu
semalam tangannya berada di mana. Hadis
ini dalam naskah Suhayl bin Abi Salih berada pada urutan nomor 7.
Dengan demikian apa yang
dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad hadis itu baru terbentuk belakangan dan
merupakan pelegitimasian pendapat para qadi dalam menetapkan suatu hukum adalah tidak benar. Hal ini sudah dibuktikan
oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad hadis itu memang muttasil sampai kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di
atas. Hal ini membuktikan juga bahwa hadis-hadis yang berkembang sekarang
bukanlah buatan para qadi , tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang
dating dari Rasul Saw. sebagai seorang nabi dan panutan umat Islam.
D.2 Seputar Penulisan Hadis
Kritik
Azami terkait penulisan hadis, itu atas dasar pandangan Ibnu Hajar yang ikut
meramaikan adanya larangan dalam menulis hadis yang terdapat dalam Fath al-
Bari, dimana menurutnya hal itu bermuara pada tiga faktor: pertama, kebanyakan
sahabat tidak dapat menulis. Kedua, kekuatan hafalan dan kecerdasan
mereka cukup untuk menjaga keutuhan hadis, sementara menulis hadis dipandang
kurang diperlukan dan ketiga, adanya larangan untuk menulis hadis karena
adanya kekhawatiran Nabi Saw akan tercampur dengan al-Qur’an. Singkatnya
bahwa jumlah hadis yang menjelaskan kebolehan menulis hadis oleh Nabi Saw lebih
banyak dari hadis yang melarang. Hadis yang membolehkan itu me-nasakh hadis-hadis yang
melarang bentuk penulisan hadis. Proses transmisi hadis berlangsung seiring
dengan perkembangan jumlah umat Islam dan minat mereka terhadap hadis. Di masa
selanjutnya, kodifikasi hadis dilakukan dengan fase-fase berbeda dan
menghasilkan kitab-kitab monumental memuat hadis-hadis Nabi Saw.[18]
Menurut Azami,
kodifikasi hadis diidentikan dengan kata Arab kitabah, tadwīn, tashnif.
Sebagian mereka ada yang menyamakan kata-kata tersebut kepada upaya
penghimpunan hadis ke dalam suatu kitab. Jika hal ini yang terjadi tentu
pemahaman di atas akan mereduksi beberapa makna yang terkandung di dalam
masing-masing kata yang ada. Padahal kata-kata tersebut memiliki kandungan arti
yang berbeda, meski dalam batasan tertentu memiliki kesamaan. Menurut telaah
Azami, banyak bermunculan pemahaman kepada istilah kitabah, tashnif dan tadwin
yang tidak tepat, ini berakibat kepada kesalahan dalam memahami tentang
penulisan hadis.
Kitabah secara bahasa berasal dari kata kataba,
memiliki arti penulisan. Dalam kitab Maqayis al-Lughah53, kataba adalah mengumpulkan sesuatu yang tercerai
berai, berserakan ke dalam sesuatu yang terkumpul (lembaran-lembaran), kemudian
kumpulan lembaran tersebut dijadikan satu disebut kitab. Kitabah al-hadis,
yakni penulisan hadis dilakukan sejak masa sahabat dan tabi’in awal, baik dalam
satu lembaran atau beberapa lembaran, hasilnya disebut shahifah. Fakta
sejarah ada beberapa bukti ditemukannya shahifah-shahifah yang memuat
catatan-catatan hadis dimaksud.[19]
Sedangkan tadwīn berasal dari
kata Arab dawwana, secara bahasa berarti menghimpun, atau mengumpulkan.
Kata masdar-nya berarti ”himpunan, kumpulan”55. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan dalam kitab, Tadwin
as-Sunnah yang memberi penjelasan kata tadwīn yakni mengikat (taqyīd)
sesuatu yang terpisah, cerai berai dan mengumpulkannya ke dalam sebuah dīwan
atau buku yang memuat lembaran-lembaran.56 Definisi
tersebut menjadi dasar bagi Azami bahwa tadwin tidak mengandung arti
penulisan (kitabah). Memang proses pengumpulan atau penghimpunan
tersebut tidak mungkin meninggalkan kegiatan tulis menulis, tetapi kata tadwin
tidak dimaksudkan untuk makna ”menulis/mencatat” (do not mean writing
down). Hal senada dijelaskan Manna
al-Qaththan bahwa tadwin adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang
telah tertulis dan hafalan, disusun secara sistematis menjadi satu
buku.Al-Baghdadi juga menjelaskan makna tadwīn dengan menyusun,
mendaftar dan mengumpulkannya ke dalam suatu susunan atau buku (kitab) yang
terdiri dari beberapa lembaran. Tadwīn ini lebih luas dari kata taqyid. Secara terminologis, istilah tadwīn hadis berarti
usaha pengumpulan hadis yang tertulis dalam bentuk lembaran-lembaran atau yang
masih ada dalam hafalan, lalu menyusun menjadi sebuah buku.[20]
Sedangkan kata tashnif
berasal dari kata shanafa-yashnifu-tashnifan berarti menyusun
atau mengarang. Al-Baghdadi menjelaskan kata tashnif lebih dalam
maknanya dibandingkan dengan tadwīn, yakni menyusun atau menghimpun
sesuatu atas beberapa bagian dan bab tertentu menurut klasifikasinya Tashnif
hadis; penyusunan hadis menurut tema dan kandungan ke dalam suatu kitab, di
dua dekade awal abad kedua Hijriyah dan terus berkembang dengan berbagai
teknik, seperti berdasarkan urutan nama-nama periwayat mulai dari sahabat
hingga tabi’in (kitab musnad). Perkembangan selanjutnya hadis disusun
berdasarkan kualitas nilai ke-shahih-annya. Ada yang
menyamakan makna tadwin dengan tashnif. Meskipun dalam kesimpulan selanjutnya
ia menjelaskan lebih jauh bahwa tashnif lebih mendalam artinya selain
menghimpun, juga menyusun secara sistematis ke dalam beberapa bagian dan
bab-bab tertentu.[21]
Beberapa definisi di atas oleh para
penulis dan pengarang atau penyusun kitab-kitab hadis tidak diperdebatkan
maknanya. Menurut mereka menulis, mengumpulkan dan menyusunnya menjadi berwujud
buku atau kitab. Jika pandangan di atas dikaitkan dengan tradisi yang
berkembang kala itu di Jazirah Arab di mana mereka lebih mengutamakan daya
hafal daripada tulisan tentu masih mudah untuk mencapai titik lemahnya. Sebab bagaimanapun kuatnya daya hafal dan ingatan seseorang
itu tetap terbatas. Kebanyakan yang ingin menguasai suatu pengetahuan, pasti ia
berupaya mengumpulkannya ke dalam suatu bentuk simpanan untuk menjaga apa yang
ia ingat dan hafal. Sebab itu untuk menolong kualitas hafalan tentu tetap
memerlukan tali pengikatnya, yakni tulisan. Dengan demikian maka ungkapan
tentang orang Arab dahulu mengutamakan hafalan dalam menjaga tradisi dan
budayanya tanpa diiringi tulisan maka itu amat sulit terjadi.[22]
Rangkaian masa
penulisan hadis di atas didasarkan pada kepercayaan bahwa hadis diriwayatkan
tidak hanya melalui lisan semata, tetapi juga tertulis oleh para periwayat
terpercaya dengan alat yang ada. Berdasarkan pada rangkaian urutan fase di atas
dapat dipahami bahwa az-Zuhri (w. 125 H) bukanlah orang pertama menulis hadis
tetapi telah banyak dilakukan oleh umat Islam sebelumnya. Terkait
dengan bahasan di atas, Azami melihat daya hafal tidak membutuhkan tulisan
adalah tidak benar. Seseorang yang akan menghafal sesuatu berawal dari apa yang
ia dapati dari tulisan, meski bukan tulisan tangannya sendiri. Dalam kasus ini
bisa dilihat pernyataan al-Khatib al-Baghdadi yang mengakui bahwa kaum salaf
dalam menghafal membutuhkan tulisan, mereka menulis apa yang akan dihafal meski
setelah menghafal tulisan tersebut ada yang dihapus agar tidak tergantung pada
tulisan.[23]
Azami memberi sanggahan kepada
pandangan ulama termasuk Ibnu Hajar yang menyebutkan az-Zuhri adalah orang yang
pertama menulis hadis. Ibnu Hajar sebagaimana ulama lain
berpandangan bahwa kalangan sahabat dan tabi’in (salaf ash-shalih) lebih
cenderung menyandarkan pada kekuatan hafalan dalam menjaga hadis daripada
bersandar pada tulisan. Pandangan ini telah bergulir kepada banyak sarjana
Muslim dan menjadi keyakinan kokoh. Muhammad bin Ja’far al-Kattani juga
sependapat bahwa kalangan sahabat dan tabiin hanya sedikit saja yang menulis
hadis. Uraian senada diungkapkan oleh
al-Baghdadi yang mengemukakan pandangan kebanyakan orang yakni hadis atau
istilah yang lebih populer dipergunakan kala itu adalah “ilmu” disebarluaskan
oleh para ulama lebih dari seratus tahun melalui cara lisan (hafalan) bukan
secara tertulis. Al-Baghdadi menambahkan, asumsi tersebut berlangsung secara
terus-menerus sampai lima abad lamanya. Asal mula kesalahan pandangan tersebut
adalah karena tidak tepatnya memahami pendapat yang disinyalir berasal dari
Malik bin Anas (92-179 H) yang menyatakan bahwa orang pertama yang mengumpulkan
(tadwīn) ilmu (hadis) adalah Ibnu Syihab az-Zuhri yang meninggal tahun
124 Hijriyah.[24]
Sebenarnya al-Kattani tidak sepenuhnya
menyatakan kalangan salaf ash-shalih sama sekali tidak melakukan upaya menulis
hadis. Ketegasaan ini terlihat dengan pengecualian yang ia tetapkan, ternyata
ada juga sebagian sahabat yang menulis hadis sebagai koleksi pribadi dan
rujukan hukum. Beberapa kitab ash-shadiqah memuat kumpulan tulisan hadis yang
dilakukan oleh beberapa sahabat yang bisa tulis menulis. Ada
sebagian kitab-kitab tersebut sampai kepada kita dan ada yang hilang ditelan
masa. Penulisan tersebut adakalanya atas izin nabi dan ada yang melakukan
penulisan atas inisiatif individu untuk kepentingan diri mereka sendiri. Contoh
shahifah milik Sa’d bin ‘Ubadah al-Anshari (w. 15 H), di mana beberapa hadisnya diriwayatkan oleh at-Tirmidzi
dan al-Bukhari, shahifah milik Samurah bin Jundub (w. 60 H), shahifah milik
Jabir. [25]
Azami melihat jika benar
umat Islam di masa Nabi Saw masih hidup tidak semuanya pandai menulis, tentu
tidak mungkin ia memberikan larangan menulis selain al-Qur’an. Logikanya, jika
hal tersebut benar lalu bagaimana al-Qur’an dapat tertulis dan kenyataannya
Nabi Saw memiliki juru tulis (sekretaris) untuk menuliskan al-Qur’an.74 Al-Baghdadi
menyatakan, keengganan kalangan tabi’in besar menulis hadis, tetapi
mengutamakan hafalan sampai masa Hasan (w. 110 H) dan Ibnu al-Musayyab (w. 115
H).75 Ungkapan senada dinyatakan oleh adz-Dzahabi bahwa sahabat dan tabi’in
mengandalkan kekuatan hafalan dalam dada yang merupakan gudang ilmu mereka.76. Azami
melihat pandangan yang mengemukakan ketiadaan orang Islam yang mampu menulis
dan membaca di masa awal sejarah Islam tidak sepenuhnya benar. Betapa banyak
anjuran dan perintah Nabi Saw agar umat Islam belajar menulis dan membaca.
Azami mengilustrasikan bahwa Nabi Saw menyuruh beberapa orang sahabat untuk
mengajarkan tulis-menulis, di antaranya ialah ‘Ubadah bin Shamit dan lainnya.77
Kepedulian nabi dan kesadaran sahabat yang mau mengajarkan tulis menulis
memberi kejelasan bahwa di masa awal Islam ada yang sudah pandai menulis dan
mengajarkannya kepada orang lain.[26]
E.
Tentang Mustafa Azami Menurut Tokoh
E1.
Pembabat Orientalis
Menurut almarhum Ali Musthafa Ya’qub, Apabila Dr. Mustafa al-Siba’i pada tahun 1949
dan Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib pada tahun 1963 telah menangkis
pikiran-pikiran Orientalis Ignaz Goldziher yang meragukan otentisitas Hadits,
maka Azami dalam disertasinya telah membabat habis semua pikiran-pikiran
orientalis yang berkaitan dengan kajian otentisitas Hadits. Secara komprehensif
Azami telah mematahkan argument-argumen mereka dan meruntuhkan teori-teorinya.
Nama-nama orientalis
seperti Robson, Wensink, Guillaume, Sachau, dll, terutama Ignaz Goldziher dan
Joseph Schacht, tidak luput dari serangan balik yang dilancarkan Azami.
Karenanya, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa Azami adalah pakar
Muslim yang pertama kali melakukan penghancuran besar-besaran terhadap
teori-teori orientalis dalam kajian Hadits. Azami adalah sosok cendekiawan
Muslim yang ideal, karena meskipun beliau belajar di bawah asuhan tokoh-tokoh
orientalis Barat, namun beliau tidak menjadi terompet yang meneriakkan
pikiran-pikiran orientalis di kalangan masyarakat Islam. Justeru sebaliknya,
beliau ibarat boomerang yang menghantam kembali posisi mereka.
Sementara
orientalis yang paling parah dihajar Azami adalah Ignaz Goldziher dan Joseph
Schacht, karena dua gembong ini dinilai yang paling berpengaruh dalam hal
pembabatan Hadis Nabawi, baik di kalangan orientalis sendiri maupun di kalangan
sementara cendikiawan Muslim. Azami juga beruntung, karena beliau diizinkan
mengkritik Schacht oleh pihak Universitas Cambridge. Berbeda dengan rekannya, Dr.
Muhammad Amin al-Mishri yang tidak dipekenankan mengkritik Schacht ketika yang
akhir ini hendak menulis disertasi.[27]
E.2. Perontok Teori Projecting Back
Prof. Dr. Joseph
Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan An
Introduction to Islamic Lawberkesimpulan bahwa Hadits – terutama yang
berkaitan dengan Hukum Islam – adalah bikinan para ulama abad kedua dan ketiga
hijriah. Ia mengatakan, “We shall not meet any legal tradition from the
Prophet which can be considered authentic.”
Untuk mendukung
kesimpulannya ini, Schacht mengetengahkan teori Projecting Back (Proyeksi ke
Belakang), yaitu menisbahkan (mengaitkan) pendapat para Ahli Fikih abad kedua
dan ketiga hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki
legitimasi daro orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya,
para Ahli Fikih telah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan tokoh-tokoh
sebelumnya, sampai kepada Nabi SAW, sehingga membentuk sanad Hadits. Inilah
rekonstruksi terbentuknya sanad Hadits menurut Schacht yang berarti
Hadits-hadits itu tidak otentik berasal dari Nabi SAW.
Untuk menghancurkan
teori Schacht ini, Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadits-hadits
Nabawi yang terdapat dalam Naskah-naskah klasik. Diantaranya adalah Naskah
milik Suhail bin Abu Shalih (w. 138 H). Abu Shalih (Ayah Suhail) adalah murid
Abu Hurairah sahabat Nabi SAW. Karenanya sanad (transmisi) Hadits dalam Naskah
itu berbentuk: Nabi SAW – Abu Hurairah – Abu Shalih – Suhail.
Naskah Suhail ini
berisi 49 Hadits. Sementara Azami meneliti para rawi (periwayat) Hadits-hadits
itu sampai generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah al-tsalitsah),
termasuk tentang jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada
jenjang ketiga, jumlah rawi berkisar antara 20-30 orang, sementara domisili
mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, anatara
Turki sampai Yaman. Sementara teks Hadits yang mereka riwayatkan redaksinya
sama.
Maka Azami
berkesimpulan, sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu
mereka pernah berkumpul untuk membuat Hadits palsu sehingga redaksinya sama.
Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadits, kemudian
oleh generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi Hadits yang mereka
buat itu sama. Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan Schacht, baik
tentang rekonstruksi terbentuknya sanad Hadits, maupun bunyi teks (matan)
Hadits.[28]
F. Kesimpulan
Kajian hadis, khususnya dalam rangka membuktikan keaslian sumber
kedua agama Islam tersebut terus bergulir seiring perkembangan waktu. Tentu
saja, ada yang positif da nada juga yang negative. Hasil dari riset tergantung terhadp metode dan
instrumen yang digunakan. Sebagaimana Azami, untuk mengetahui dan membuktikan
hadis tersebut otentik, maka dengan menelaah hadis satu sama lain, pendapat
ulama-ulama, meneliti tradisi pengucapan dan penulisan dan menemkan matan
dengan teks al-Quran. Selain itu, untuk memubktikan keotentikan hadis, menurut
Azami, juga menelaah sanad-sanad malalui kitab-kitab hadis, bukan sejarah atau
fikih. Keotentikan hadis juga dapat didukung oleh penulisan riwayat hadis dan
penjagaannya yang sudah dilaksanakan sejak masa Nabi Muhammad saw. Dari
arumen-argumennya tersebut Azami menyimpulkan bahwa hadis Nabi Muhammad saw
adalah otentik dan patut dijadikan sebagai sumber hukum Islam kedua.
Daftar Pustaka
Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis Versi Muhadditsin dan Fuqaha,
Yogyakarta: Teras,
t.th..
Abdul Karim, Abdul. Pemikiran Orentalis terhadap Kajian Quran Hadis, ADDIN, Vol.
7, No. 2,
Agustus 2013.
Ali Muazis,
Ali. Tokoh Ahli Hadis: Mustafa al-Azami,
Arifin, Fadh Ahmad . Keotentikan Hadits Nabi saw Menurut M. M. Azami,
zainulhikmah.blogspot.in/2013/03-keotentikan-hadis-saw-menurut-mm.azami,
diakses pada 30 Nop. 17.
Azami, A, Mustafa.
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994.
.............................., Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, Riyadh :
al-Ummariyah,
1982.
Ismail, Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Penerbit
Angkasa, t.th.
Isnaini, Ahmad. Historisitas Hadis dalam Kacamata Azami,
dalam Epistemé, Vol. 9, No.
2, Desember
2014.
Kamaruddin. Kritik Mustafa Azami Terhadap Pemikiran Para
Orientalis tentang Hadis
Rasulullah, Al-dalam jurnal Tahrir, Vol. 11, No.
1 Mei 2011.
Khaeruman, Badru. Otentisitas Haditst, Bandung:
Rosda, 2004.
Khoeron, Moh. Kajian Orientalis terhadap Teks dan Sejarah
Al-Qur'an, dalam Suhuf,
Vol. 3, No. 2, 2010.
Pryadharizal, Ganna.“Prof. Dr. Muhammad al-Azami: Tameng
Penangkis Serangan
Orientalis” dalam Majalah Sabili No. 10 Thn XVI edisi 4 Desember 2008.
Sulidar, dkk, Pemikiran
Muhammad Mustafa Al-A‘Zami Tentang Penulisan
Hadis Dan
Jawaban
Terhadap Kritik Joseph Schacht Tentang Keautentikan
Hadis, AT-TAHDIS: Journal of Hadith
Studies, Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2017.
Suryadi, Yang Membela dan Menggugat Yogyakarta: Suka Press,
2011.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik
Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011
Yusuf, Khaerudin
Yusuf, Al-A’zamī Dan Fenomena
Qiraat Alquran: Antara Multiple
Reading
Dengan Variant Reading, Jurnal
Studi Islamika, Vol. 11, No.1,
Juni 2014.
[2] Abdul
Karim, Pemikiran Orentalis terhadap Kajian Quran Hadis, ADDIN,
Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, hal. 326.
[3]
Ernawati Br Ginting, Nawir Yuslem, Sulidar, Pemikiran Muhammad Mustafa
Al-A‘Zami Tentang Penulisan Hadis Dan Jawaban Terhadap
Kritik Joseph Schacht
Tentang Keautentikan Hadis, AT-TAHDIS: Journal of Hadith
Studies, Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2017, hal. 96.
[4] M. Mustafa
Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1994), cet. 1, hlm. 5-6
[8] Ganna
Pryadharizal, “Prof. Dr. Muhammad al-Azami: Tameng Penangkis Serangan
Orientalis” dalam Majalah Sabili No. 10 Thn XVI edisi 4 Desember 2008. hal.
77.
[9] Ahmad Isnaini,
Historisitas Hadis dalam Kacamata Azami, dalam Epistemé, Vol. 9, No. 2,
Desember 2014, hal. 228.
[10] Ahmad Isnaini,
Historisitas Hadis dalam Kacamata Azami, hal. 229.
[11] Khaerudin
Yusuf, Al-A’zamī Dan
Fenomena Qiraat Alquran: Antara
Multiple Reading Dengan Variant Reading, Jurnal Studi Islamika, Vol. 11, No.1, Juni 2014, Hal. 89.
[12]
Khaerudin Yusuf, Al-A’zamī Dan Fenomena Qiraat Alquran: Antara Multiple Reading Dengan Variant Reading, Hal. 110.
[13] Mustafa Azami,
Hadis Nabi dan Sejarah Kodifiksinya, terj. Mustafa Ya’qub, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994), hal. 27.
[14] Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis Versi Muhadditsin dan Fuqaha, (Yogyakarta: Teras, t.th), hal.
9-11.
[15] Kamaruddin, Kritik
Mustafa Azami Terhadap Pemikiran Para Orientalis tentang Hadis Rasulullah, Al-dalam jurnal Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 222.
[16] Kamaruddin, Kritik
Mustafa Azami Terhadap Pemikiran Para Orientalis tentang Hadis Rasulullah,
hal. 223
[17] Ernawati Br
Ginting, Nawir Yuslem, Sulidar, Pemikiran Muhammad Mustafa Al-A‘Zami Tentang
Penulisan Hadis Dan Jawaban Terhadap Kritik Joseph Schacht Tentang Keautentikan
Hadis, hal. 97.
[20] Ali Muazis, Tokoh
Ahli Hadis: Mustafa al-Azami, www.kajianhds.blogspot.in/2015/094-tokoh-ahli-hadis, diakses pada Kamis, 30 Nopember
2017, pukul. 9.51 wib.
[21] Ali Muazis, Tokoh Ahli Hadis:
Mustafa al-Azami, www.kajianhds.blogspot.in/2015/094-tokoh-ahli-hadis, diakses pada Kamis, 30 Nopember
2017, pukul. 9.51 wib.
[22] Moh.
Khoeron, Kajian Orientalis terhadap Teks dan Sejarah Al-Qur'an,
dalam Suhuf, Vol. 3, No. 2, 2010, hal. 236.
[25] M. Muathafa
al-Azami, Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, (Riyadh :
al-Ummariyah, 1982) hal. 5.
[26] Fadh Ahmad Arifan, Keotentikan Hadits
Nabi saw Menurut M. M. Azami, zainulhikmah.blogspot.in/2013/03-keotentikan-hadis-saw-menurut-mm.azami,
diakses pada 30 Nop. 17, pukul. 10.02 wib.