Blogger Widgets PRIVAT BAHASA ARAB BACA KITAB KUNING JAKARTA: Desember 2017
Tingkatkan totalitas menghamba dengan memaksimalkan peran Al-Qur'an dan Al-Hadits, serta peran akal dalam menggapai apa pun yang ingin kita capai dalam dunia atau pun akhirat

Rabu, 20 Desember 2017

Autentisitas Hadis dalam Pandangan M. Mustafa ‘Azami



Abstract:
Hadith as the second source of law after the Koran became the great heritage of Muslims believed to be authenticity. But beyond the fact, not a few of the scholars of Hadith even questioned even the authenticity of the hadith, such as Ignaz Goldziher and Joseph Schacht who say that the hadith does not exist except that the traditions of pre-Islamic Arab ancestors were later stamped from Muhammad. There is no original hadith from the Prophet, nor from his sanad. The explosions echoed by this orientalist got critical responses from M. Mustafa Azami. According to him, the hadith of the prophet is authenticated either scientifically or historically. To the conclusion must use the method of criticism of hadith, not just rational. And, sanad circumstances even though true and came to the Prophet. Azami believes the above with evidence of discussion activities and memorization of Hadith of the Prophet, the writings, the spread of the hadith of friends, and the madhhaf of the Companions. The Orientalist's mistake about examining it with the book of fiqh and history, not the book of hadith directly.
Abstract: M. Mustafa 'Azami, Authenticity, Orientalist.
Abstrak
Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran menjadi warisan agung umat Islam yang diyakini keotentikannya. Namun di luar faktanya, tidak sedikit para pengkaji hadis yang justru meragukan bahkan menolak keautentikan hadis, seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht yang mengatakan bahwa hadis tidaklah ada kecuali merupakan tradisi nenek moyang Arab pra-Islam yang kemudian dicap dari Nabi Muhammad. Tidak ada satu hadispun yang asli dari Nabi, pun dari sisi sanadnya. Letupan-letupan yang digemakan oleh orientalis ini mendapat tanggapan kritis dari M. Mustafa Azami. Menurutnya, hadis nabi dipastikan autentiknya baik secara ilmiah atau historisitasnya. Untuk pada kesimpulan tersebut harus menggunakan metode kritik hadis, bukan sekadar rasional. Dan, keadaan sanad sungguh pun benar adanya dan sampai pada Nabi. Azami meyakini hal di atas dengan bukti adanya aktivitas diskusi dan hafalan hadis Nabi, tulis-menulis, penyebaran hadis masa sahabat, dan mushaf-mushaf para sahabat. Kesalahan orientalis tentang karena menelitinya dengan kitab fikih dan sejarah, bukan kitab hadis secara langsung.
Abstrak: M. Mustafa ‘Azami, Autentisitas, Orientalis.
A.  Pendahuluan
Sebagian orientalis berpendapat bahwa hadis pada awal perkembangannya tidak tercatat sebagiamana al-Qur`an. Tradisi yang berkembang pada waktu itu terutama pada masa Nabi dan sahabat adalah tradisi oral (lisan), bukan tradisi tulis. Hal ini tentu menimbulkan adanya kemungkinan banyak hadis yang otentisitasnya perlu dipertanyakan atau bahkan diragukan sama sekali. Namun demikian, sebagian orientalis sendiri seperti Fuad Seizgin berpendapat bahwa di samping tradisi oral, sebenarnya juga telah ada tradisi tulis pada zaman Nabi, disamping hafalan mereka sangat kuat.[1]
Tidak ditulisnya hadis secara resmi pada zaman Nabi dan sahabat itu lebih disebabkan antara lain; Pertama, karena Nabi sendiri memang pernah melarangnya meskipun diantara sahabat atas izin Nabi juga telah mencatat sebagian hadis yang disampaikan Nabi. Kedua, karena sebagian besar sahabat cenderung lebih memperhatikan al-Qur`an untuk dihafal dan ditulisnya pada papan, pelepah kurma, kulit binatang dan lain sebagianya. Sedangkan terhadap hadis Nabi sendiri, disamping menghafalnya, mereka cenderung langsung melihat praktek yang dilakukan Nabi, kemudian mereka mengikutinya. Ketiga, karena ada kekhawatiran terjadinya iltibas (campur aduk) antara ayat al-Qur`an dengan hadis.[2]
Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas hadis. Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran utama untuk membangun teori yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas hadis. Goldziher misalnya, telah memastikan untuk mengingkari adanya pemeliharaan hadis pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriah. Pendapatnya inilah yang kemudian diamini oleh generasi setelahnya yaitu Joseph Schact.
Sedikit sekali kalangan orientalis yang meneliti hadis Nabi dan mereka yang menelitinya serta sampai pada suatu kesimpulan yang jumlahnya tidak lebih dari jari-jari tangan. Namun demikian penelitiannya juga tidak matang dan metodenya juga tidak ilmiah. Karya-karya Schacht dapat dianggap sebagai puncaknya karya-karya mereka dalam masalah ini, ia menjadi rujukan penting dan pokok untuk penulisan-penulisan di Barat, bahkan juga di Timur. Mereka telah melakukan suatu hal yang membahayakan dalam sejarah penelitian hadis Nabi dan hal-hal lain yang masih ada hubungannya dengan itu.[3]
            Dari situlah mereka membidikkan serangannya untuk merontokkan nilai hadis-hadis Nabi. Mereka menyerang dan mengeritik hadis dari berbagai segi. Diantaratanya mereka ada yang mengartikan bahwa hadis itu adalah hal-hal yang sudah menjadi tradisi di kalangan ulama dan bukan berarti hadis yang berasal dari Nabi. Ada pula yang menolak hadis sebagai sumber hukum Islam dan ada juga yang menuduh bahwa hadis baru ditulis pada saat belakangan sehingga keotentikannya tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebab sekedar kekuatan hafalan seseorang tidak dapat dijadikan pegangan terutama untuk masa yang cukup lama itu. Ada pula yang mengatakan bahkan sanad hadis baru muncul pada akhir abad pertama dalam bentuk yang sangat sederhana dan baru dikembangkan kemudian. Ada pula yang mengatakan bahwa sanad baru terdapat pada abad kedua dan penyempurnaannya baru dilakukan pada abad ketiga.[4]
            Letupan-letupan para orientalis di atas tentu saja membuat telinga umat Islam memerah sebagai umat yang menjadikan hadis sebagai sumber hukum agama kedua setelah al-Quran. Salah satu tokoh Muslim yang mengomentari bahkan menolak dengan tegas pendapat-pendapat orientalis terkait otentisitas hadis, kemustahilan sanad, dan juga kodifikasi hadis adalah M. Mustafa ‘Azami.
B.  Mengenal M. Mustafa ‘Azami
Muhammad Mustafa Azami lahir di kota Mano, India Utara, tahun 1932. Ayahnya pencinta ilmu dan membenci penjajahan, serta tidak suka bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi perjalanan studi Azami, di mana ketika masih duduk di SLTA beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke Sekolah Islam yang menggunakan bahasa Arab. Dari sinilah Azami mulai belajar Hadits. Tamat dari Sekolah Islam, Azami lalu melanjutkan studinya di College of Science di Deoband, sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam, dan tamat tahun 1952. Kemudian Azami melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris, Universitas al-Azhar, Cairo, dan tamat tahun 1955 dengan memperoleh ijazahal-‘Alimiyah. Tahun itu juga beliau kembali ke tanah airnya, India.
Tahun 1956 Azami diangkat sebagai Dosen Bahasa Arab untuk orang-orang non Arab di Qatar. Lalu tahun 1957 diangkat sebagai Sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah). Tahun 1964 Azami melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge, Inggris, sampai meraih gelar Ph.D. tahun 1966 dengan disertasi berjudul Studies in Early Hadits Literature. Lalu beliau kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan semula. Tahun 1968 beliau mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah ke Mekkah untuk mengajar di Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi Islam, Universitas King ‘Abd al-‘Aziz (kini Universitas Umm al-Qura). Beliau, bersama al-Marhum Dr. Amin al-Mishri, termasuk yang ikut andil mendirikan fakultas tersebut.
Tahun 1973 (1393 H) beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Dan di Universitas ini Ali Mustafa Yaqub bertemu dengan Azami sebagai murid dan guru, di mana setelah tamat ia mendapat amanat dari Azami untuk menerjemahkan buku-bukunya. Reputasi Ilmiah Azami melejit ketika pada tahun 1400 H / 1980 M beliau memenangkan Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam dari Lembaga Hadiah Yayasan Raja Faisal di Riyadh.[5]

Dalam referensi yang lain disebutkan bahwa Mustafa ‘Azami lahir di awal tahun 1932 di Mau, India. Sarjana Mudanya diraih di Universitas Darul Ulum, Deoband, India (1952). Pendidikan Masternya diselesaikan di Universitas Al Azhar, Mesir pada 1955. Adapun gelar Ph.D-nya (doktoral) diraih dengan predikat summa cumloude dari Universitas Cambridge pada 1966 lewat desertasinya yang fenomenal di dunia islam dengan judul 'on the schact's Mohammaden jurisprudence'. Dalam kesehariaannya, al-A’zami bekerja sebagai seorang guru/pengajar bahasa Arab, dan mendapatkan gelar yang tinggi dari Univesitas Cambridge. Setelah itu, ia pergi ke Hizaj dan mengajar di Fakultas Syari'ah di Makkah, dan di kampus ini al-A’zami didaulat sebagai pengajar Ilmu Musthalah al-Hadits di bidang Budaya Islāmiyah.[6]
Saat ini ia menjadi guru besar emeritus pada Univ. King Saud (Riyadh), pernah juga menjadi associate professor di Jami'ah Al Islamiyyah Ummul Quro', Makkah, guru besar tamu di beberapa universitas di Barat seperti di Univ. Michigan dan Oxford seta menjadi professor tamu di islamic studies di Univ. Princeton.[7]
C.      Karya-Karya M. Mustafa ‘Azami
Azami dikenal sebagai pemikir hadis yang mampu memberi warna dan terlibat diskusi panjang dengan kalangan Barat. Sebagian besar pemikiran Azami, terutama terkait dengan hadis dan kritikan kepada orientalis, dielaborasi dalam empat buku: Studies in Early Hadith Literature, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, Studies in Hadith Methodology and Litareture, dan Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhaddisin Nasy’atuhu wa Tarikhuh.
Studies in Early Hadith Literature, merupakan karya orisinal yang terbagi kepada delapan bab pembahasan. Dalam tulisannya ini, Azami memaparkan keadaan hadis nabi yang menurutnya masih berada pada tataran sumber ajaran Islam yang dapat dipercaya/autentik. Keautentikan ini dibuktikannya sejak masa periwayatan, penulisan, pembukuan ke dalam kitab-kitab kanonik. Tampaknya Azami lebih menekankan keautentikan hadis pada sisi sanad sebab di dalam buku ini dirinya mendiskusikan secara luas keberadaan sanad dalam menjaga keautentikan hadis. Buku ini secara khusus banyak membantah teori dan pemikiran Barat tentang keautentikan hadis.[8]
Karya Azami berikutnya adalah On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence. Secara umum tulisan ini bertujuan untuk menyerang pemikiran Ignaz Goldziher dalam bukunya, An Introduction to Islamic Law dan Schacht. Kedua buku tersebut, khususnya karya Schacht telah menjadi kiblat para orientalis lain yang membincangkan hukum Islam yang tak terbantahkan. Buku Azami ini terbagi ke dalam dua bagian, bagian pertama terdiri dari dua bab yang menguraikan pandangan Azami tentang hukum Islam dan peranan nabi dalam pembentukan hukum. Pada bagian kedua dari buku ini dipilah menjadi enam bab.[9]
Berangkat dari dua tulisan di atas, Azami tidak dapat dipisahkan dari konteks pemikiran hadis yang terjadi kala itu, baik di kalangan ulama Muslim dan sarjana Barat. Tujuan dari kajian yang dilakukan Azami adalah menjelaskan dan membela hadis dari orang-orang yang akan meragukan keberadaannya sebagai hujjah hukum Islam. Ia dikelompokkan dalam golongan orang yang membela hadia dari serangan para sarjana Barat dan yang mengikuti pola pikir mereka yang bersikap skeptis terhadap hadis.
Karya lain Azami terkait metode kritik hadis dalam Islam tertuang dalam tulisannya, Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin, Nasy’atuhu wa Tarikhuhu. Menurut Azami, kritik hadis dalam Islam telah dimulai sejak masa sahabat. Para sahabat seringkali melakukan kritik terhadap sahabat lain dalam riwayat hadis. Kajian kritik hadis lebih cenderung memuat pendapat para ulama hadis terhadap kepribadian sahabat. Termasuk di dalamnya juga mengkritik pandangan orientalis seperti Goldziher, Schacht, A.J. Wensinck dan lainnya dalam melakukan kajian sanad dan matan hadis. Dalam buku Manhaj an-Naqd ini, Azami membahas berbagai persoalan terkait kritik hadis terbagi ke dalam enam bab.[10]
Beberapa karya tulis Azami lainnya lebih kepada bentuk pengeditan dan komentar, misalnya ia membuat catatan penting atas kitab, Tamyiz dalam Shahih Muslim yang diberi judul, Introduction to Kitab Tamyiz. Dalam tulisan terakhir ini, ia banyak mengungkap pentingnya ilmu hadis dalam rangka menelusuri dan menjaga hadis-hadis Nabi Saw. Menurut Azami, kitab Tamyiz ini adalah salah satu karya yang amat penting terkait metodologi kritik hadis. Al-Albani (1914-1999 M) memprediksi kitab ini ditulis pada abad ketujuh atau kedelapan Hijriyah. Pertimbangannya, huruf yang digunakan lebih besar dengan model huruf yang ada sekarang. Berkenaan dengan asal-usul kitab Tamyiz, as-Sam’ani menyebut dalam kitabnya at-Tahbir, demikian Azami menjelaskan, bahwa ia mendapatkannya melalui jalur sima’ dari gurunya Abi al-Qasim Mahmud bin Abdurrahman bin al-Qasim al-Busti, yang diperoleh dari Ismail bin Abdul Ghafir al-Farisi (451-529 H). Sebagian riwayat diterima melalui Abi Hafs bin Masrur dan sebagian lainnya dari Abi Usman ash-Shabuni. Keduanya meriwayatkan dari Abi Bakr al-Jauzaqi dari Abi Hatim Makki bin Abdan bin Muhammad bin Bakar bin Muslim bin Rasyid an-Naisaburi (242-325 H).[11]
Selain itu, Azami juga mengtahqiq kitab shahih karya Ibnu Khuzaimah. Dalam buku ini ia berusaha menelusuri kebenaran setiap riwayat yang ada dalam karya Ibnu Khuzaimah. Beberapa buku hasil pengeditannya yang lain di antarannya, al-`Ilah of lbn al-Madini, Maghazi Rasulullah of `Urwah bin Zubayr, Muwatta Imam Malik, dan Sunan ibn Majah.
Setelah lama mapan dalam studi hadis, belakangan Azami merambah bidang studi lain, al-Qur’an. Namun inti kajiannya sama yakni menyangkal studi orientalis yang menyangsikan otentisitas al-Qur’an sebagai kitab suci. Azami menulis buku, The History of The Qur’anic Text, yang berisi perbandingan dengan sejarah Perjanjian Lama dan Baru. Dalam buku ini, ia banyak menyoroti pandangan orientalis yang selama ini dianggap benar terkait al-Qur’an.[12]
D. Autentisitas Hadis Menurut M. Musthafa ‘Azami
D.1 Pembuktian Keotentikan Hadis

Menurut ‘Azami hadis nabi bukanlah sekadar hasil produk budaya masa jahiliyyah, yang terkait ideal dan moral. Akan tetapi adalah sunnah Nabi yang menjadi panutan umat yang bukan sama sekali berbentuk pengambilalihan umat sebelumnya. Jikapun ada hanyalah tradisi yang tidak melanggar ketentuan hukum Islam.[13]
Adapun pendapat Azami terkait keotentiakan hadis, tidak lepas sebagai komentar kepada Ignas Goldziher dan J. Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammad Jurisprudencye. Ia berkesimpulan bahwa tak ada satupun hadis nabi yang benar-benar otentik berasal dari nabi, terutama hadis-hadis yang berkaitan dengan fiqih. Bagi M. M Azami, otentisitas hadis itu sampai sekarang tetap dapat dibuktikan secara ilmiah dan historis. Ia telah menunjukkan fatwa bahwa semua masalah mengenai hadis Nabi bertumpu pada masalah sentral tentang status sunnah yang merupakan sumber ajaran kedua setelah setelah al-Qur’an. Kehidupan nabi merupakan model yang harus diikuti oleh kaum muslimin tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Karena alasan ini, maka para sahabat bahkan sejak beliau masih hidup telah mulai menyebarluaskan pengetahuan tentang sunnah dan nabi sendiri juga memerintahkan mereka melakukan hal itu.[14]
Untuk memperoleh otentitas hadis, menurut Muhammad Mustafa Azami, maka seseorang harus melakukan kritik hadis. Menurutnya, kritik hadis sejauh menyangkut nash atau dokumen terdapat beberapa metode. Namun hampir semua metode tersebut dapat dimasukkan dalam kategori perbandingan atau cross refference. Dengan mengumpulkan semua bahan yang berkaitan atau katakanlah semua hadis yang berkaitan, membandingkannya dengan cermat satu sama lain, orang akan menilai keakuratan para ulama. Dalam hal ini sebagaimana dikutip Azami, Ibn Mubarak pernah berkata: “untuk mencapai pernyataan yang otentik, orang perlu membandingkan kata-kata para ulama’ satu dengan yang lain”.[15] Menurut M. M. Azami, untuk memperoleh otentitas hadis, maka seseorang harus melakukan kritik hadis baik itu menyangkut sanad hadis maupun matannya. Adapun rumusan metodologis yang ditawarkan untuk membuktikan keotentikan hadis adalah:

1. Memperbandingkan hadis-hadis dari berbagai murid seorang guru.
2. Memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari para ulama dari beberapa waktu yang berbeda.
3. Memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis.
4. Memperbandingkan hadis-hadis dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.[16]

Mustafa Azami juga mengomentari sanad hadis yang dinilai oleh Orientalis tidaklah asli dan hanya dibuat-buat saja. Sehingga berkonsekuensi akan kettidakotentikan hadis Azami mengkritik Schact sebagai orientalis ulung yang telah banyak mempengaruhi sanad hadis tersebut.
Untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M. M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang hadis-hadis nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhayl bin Abi Salih (w.138 H). Abu Salih (ayah Suhayl) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi Saw. Naskah Suhayl ini berisi 49 hadis. Sementara Azami meneliti perawi hadis itu sampai kepada generasi Suhayl, yaitu jenjang ketiga (al-tabaqah al-thalithah), termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencarpencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.[17]
Azami berkesimpulan bahwa sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekontruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks (matan) hadis tersebut. Sebagai contoh, Azami mengemukakan hadis yang artinya di mana Nabi Saw. bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada di mana. Hadis ini dalam naskah Suhayl bin Abi Salih berada pada urutan nomor 7.
 Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadi dalam menetapkan suatu hukum adalah tidak benar. Hal ini sudah dibuktikan oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad hadis itu memang muttasil sampai kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Hal ini membuktikan juga bahwa hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para qadi , tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang dating dari Rasul Saw. sebagai seorang nabi dan panutan umat Islam.

D.2 Seputar Penulisan Hadis

Kritik Azami terkait penulisan hadis, itu atas dasar pandangan Ibnu Hajar yang ikut meramaikan adanya larangan dalam menulis hadis yang terdapat dalam Fath al- Bari, dimana menurutnya hal itu bermuara pada tiga faktor: pertama, kebanyakan sahabat tidak dapat menulis. Kedua, kekuatan hafalan dan kecerdasan mereka cukup untuk menjaga keutuhan hadis, sementara menulis hadis dipandang kurang diperlukan dan ketiga, adanya larangan untuk menulis hadis karena adanya kekhawatiran Nabi Saw akan tercampur dengan al-Qur’an. Singkatnya bahwa jumlah hadis yang menjelaskan kebolehan menulis hadis oleh Nabi Saw lebih banyak dari hadis yang melarang. Hadis yang membolehkan itu me-nasakh hadis-hadis yang melarang bentuk penulisan hadis. Proses transmisi hadis berlangsung seiring dengan perkembangan jumlah umat Islam dan minat mereka terhadap hadis. Di masa selanjutnya, kodifikasi hadis dilakukan dengan fase-fase berbeda dan menghasilkan kitab-kitab monumental memuat hadis-hadis Nabi Saw.[18]
Menurut Azami, kodifikasi hadis diidentikan dengan kata Arab kitabah, tadwīn, tashnif. Sebagian mereka ada yang menyamakan kata-kata tersebut kepada upaya penghimpunan hadis ke dalam suatu kitab. Jika hal ini yang terjadi tentu pemahaman di atas akan mereduksi beberapa makna yang terkandung di dalam masing-masing kata yang ada. Padahal kata-kata tersebut memiliki kandungan arti yang berbeda, meski dalam batasan tertentu memiliki kesamaan. Menurut telaah Azami, banyak bermunculan pemahaman kepada istilah kitabah, tashnif dan tadwin yang tidak tepat, ini berakibat kepada kesalahan dalam memahami tentang penulisan hadis.
Kitabah secara bahasa berasal dari kata kataba, memiliki arti penulisan. Dalam kitab Maqayis al-Lughah53, kataba adalah mengumpulkan sesuatu yang tercerai berai, berserakan ke dalam sesuatu yang terkumpul (lembaran-lembaran), kemudian kumpulan lembaran tersebut dijadikan satu disebut kitab. Kitabah al-hadis, yakni penulisan hadis dilakukan sejak masa sahabat dan tabi’in awal, baik dalam satu lembaran atau beberapa lembaran, hasilnya disebut shahifah. Fakta sejarah ada beberapa bukti ditemukannya shahifah-shahifah yang memuat catatan-catatan hadis dimaksud.[19]
Sedangkan tadwīn berasal dari kata Arab dawwana, secara bahasa berarti menghimpun, atau mengumpulkan. Kata masdar-nya berarti ”himpunan, kumpulan”55. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan dalam kitab, Tadwin as-Sunnah yang memberi penjelasan kata tadwīn yakni mengikat (taqyīd) sesuatu yang terpisah, cerai berai dan mengumpulkannya ke dalam sebuah dīwan atau buku yang memuat lembaran-lembaran.56 Definisi tersebut menjadi dasar bagi Azami bahwa tadwin tidak mengandung arti penulisan (kitabah). Memang proses pengumpulan atau penghimpunan tersebut tidak mungkin meninggalkan kegiatan tulis menulis, tetapi kata tadwin tidak dimaksudkan untuk makna ”menulis/mencatat” (do not mean writing down). Hal senada dijelaskan Manna al-Qaththan bahwa tadwin adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah tertulis dan hafalan, disusun secara sistematis menjadi satu buku.Al-Baghdadi juga menjelaskan makna tadwīn dengan menyusun, mendaftar dan mengumpulkannya ke dalam suatu susunan atau buku (kitab) yang terdiri dari beberapa lembaran. Tadwīn ini lebih luas dari kata taqyid.  Secara terminologis, istilah tadwīn hadis berarti usaha pengumpulan hadis yang tertulis dalam bentuk lembaran-lembaran atau yang masih ada dalam hafalan, lalu menyusun menjadi sebuah buku.[20]
Sedangkan kata tashnif berasal dari kata shanafa-yashnifu-tashnifan berarti menyusun atau mengarang. Al-Baghdadi menjelaskan kata tashnif lebih dalam maknanya dibandingkan dengan tadwīn, yakni menyusun atau menghimpun sesuatu atas beberapa bagian dan bab tertentu menurut klasifikasinya Tashnif hadis; penyusunan hadis menurut tema dan kandungan ke dalam suatu kitab, di dua dekade awal abad kedua Hijriyah dan terus berkembang dengan berbagai teknik, seperti berdasarkan urutan nama-nama periwayat mulai dari sahabat hingga tabi’in (kitab musnad). Perkembangan selanjutnya hadis disusun berdasarkan kualitas nilai ke-shahih-annya. Ada yang menyamakan makna tadwin dengan tashnif.  Meskipun dalam kesimpulan selanjutnya ia menjelaskan lebih jauh bahwa tashnif lebih mendalam artinya selain menghimpun, juga menyusun secara sistematis ke dalam beberapa bagian dan bab-bab tertentu.[21]
Beberapa definisi di atas oleh para penulis dan pengarang atau penyusun kitab-kitab hadis tidak diperdebatkan maknanya. Menurut mereka menulis, mengumpulkan dan menyusunnya menjadi berwujud buku atau kitab. Jika pandangan di atas dikaitkan dengan tradisi yang berkembang kala itu di Jazirah Arab di mana mereka lebih mengutamakan daya hafal daripada tulisan tentu masih mudah untuk mencapai titik lemahnya. Sebab bagaimanapun kuatnya daya hafal dan ingatan seseorang itu tetap terbatas. Kebanyakan yang ingin menguasai suatu pengetahuan, pasti ia berupaya mengumpulkannya ke dalam suatu bentuk simpanan untuk menjaga apa yang ia ingat dan hafal. Sebab itu untuk menolong kualitas hafalan tentu tetap memerlukan tali pengikatnya, yakni tulisan. Dengan demikian maka ungkapan tentang orang Arab dahulu mengutamakan hafalan dalam menjaga tradisi dan budayanya tanpa diiringi tulisan maka itu amat sulit terjadi.[22]
Rangkaian masa penulisan hadis di atas didasarkan pada kepercayaan bahwa hadis diriwayatkan tidak hanya melalui lisan semata, tetapi juga tertulis oleh para periwayat terpercaya dengan alat yang ada. Berdasarkan pada rangkaian urutan fase di atas dapat dipahami bahwa az-Zuhri (w. 125 H) bukanlah orang pertama menulis hadis tetapi telah banyak dilakukan oleh umat Islam sebelumnya. Terkait dengan bahasan di atas, Azami melihat daya hafal tidak membutuhkan tulisan adalah tidak benar. Seseorang yang akan menghafal sesuatu berawal dari apa yang ia dapati dari tulisan, meski bukan tulisan tangannya sendiri. Dalam kasus ini bisa dilihat pernyataan al-Khatib al-Baghdadi yang mengakui bahwa kaum salaf dalam menghafal membutuhkan tulisan, mereka menulis apa yang akan dihafal meski setelah menghafal tulisan tersebut ada yang dihapus agar tidak tergantung pada tulisan.[23]
Azami memberi sanggahan kepada pandangan ulama termasuk Ibnu Hajar yang menyebutkan az-Zuhri adalah orang yang pertama menulis hadis. Ibnu Hajar sebagaimana ulama lain berpandangan bahwa kalangan sahabat dan tabi’in (salaf ash-shalih) lebih cenderung menyandarkan pada kekuatan hafalan dalam menjaga hadis daripada bersandar pada tulisan. Pandangan ini telah bergulir kepada banyak sarjana Muslim dan menjadi keyakinan kokoh. Muhammad bin Ja’far al-Kattani juga sependapat bahwa kalangan sahabat dan tabiin hanya sedikit saja yang menulis hadis. Uraian senada diungkapkan oleh al-Baghdadi yang mengemukakan pandangan kebanyakan orang yakni hadis atau istilah yang lebih populer dipergunakan kala itu adalah “ilmu” disebarluaskan oleh para ulama lebih dari seratus tahun melalui cara lisan (hafalan) bukan secara tertulis. Al-Baghdadi menambahkan, asumsi tersebut berlangsung secara terus-menerus sampai lima abad lamanya. Asal mula kesalahan pandangan tersebut adalah karena tidak tepatnya memahami pendapat yang disinyalir berasal dari Malik bin Anas (92-179 H) yang menyatakan bahwa orang pertama yang mengumpulkan (tadwīn) ilmu (hadis) adalah Ibnu Syihab az-Zuhri yang meninggal tahun 124 Hijriyah.[24]
Sebenarnya al-Kattani tidak sepenuhnya menyatakan kalangan salaf ash-shalih sama sekali tidak melakukan upaya menulis hadis. Ketegasaan ini terlihat dengan pengecualian yang ia tetapkan, ternyata ada juga sebagian sahabat yang menulis hadis sebagai koleksi pribadi dan rujukan hukum. Beberapa kitab ash-shadiqah memuat kumpulan tulisan hadis yang dilakukan oleh beberapa sahabat yang bisa tulis menulis. Ada sebagian kitab-kitab tersebut sampai kepada kita dan ada yang hilang ditelan masa. Penulisan tersebut adakalanya atas izin nabi dan ada yang melakukan penulisan atas inisiatif individu untuk kepentingan diri mereka sendiri. Contoh shahifah milik Sa’d bin ‘Ubadah al-Anshari (w. 15 H), di mana beberapa hadisnya diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan al-Bukhari, shahifah milik Samurah bin Jundub (w. 60 H), shahifah milik Jabir. [25]
Azami melihat jika benar umat Islam di masa Nabi Saw masih hidup tidak semuanya pandai menulis, tentu tidak mungkin ia memberikan larangan menulis selain al-Qur’an. Logikanya, jika hal tersebut benar lalu bagaimana al-Qur’an dapat tertulis dan kenyataannya Nabi Saw memiliki juru tulis (sekretaris) untuk menuliskan al-Qur’an.74 Al-Baghdadi menyatakan, keengganan kalangan tabi’in besar menulis hadis, tetapi mengutamakan hafalan sampai masa Hasan (w. 110 H) dan Ibnu al-Musayyab (w. 115 H).75 Ungkapan senada dinyatakan oleh adz-Dzahabi bahwa sahabat dan tabi’in mengandalkan kekuatan hafalan dalam dada yang merupakan gudang ilmu mereka.76. Azami melihat pandangan yang mengemukakan ketiadaan orang Islam yang mampu menulis dan membaca di masa awal sejarah Islam tidak sepenuhnya benar. Betapa banyak anjuran dan perintah Nabi Saw agar umat Islam belajar menulis dan membaca. Azami mengilustrasikan bahwa Nabi Saw menyuruh beberapa orang sahabat untuk mengajarkan tulis-menulis, di antaranya ialah ‘Ubadah bin Shamit dan lainnya.77 Kepedulian nabi dan kesadaran sahabat yang mau mengajarkan tulis menulis memberi kejelasan bahwa di masa awal Islam ada yang sudah pandai menulis dan mengajarkannya kepada orang lain.[26]
E.   Tentang Mustafa Azami Menurut Tokoh
E1. Pembabat Orientalis
Menurut almarhum Ali Musthafa Ya’qub, Apabila Dr. Mustafa al-Siba’i pada tahun 1949 dan Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib pada tahun 1963 telah menangkis pikiran-pikiran Orientalis Ignaz Goldziher yang meragukan otentisitas Hadits, maka Azami dalam disertasinya telah membabat habis semua pikiran-pikiran orientalis yang berkaitan dengan kajian otentisitas Hadits. Secara komprehensif Azami telah mematahkan argument-argumen mereka dan meruntuhkan teori-teorinya.
Nama-nama orientalis seperti Robson, Wensink, Guillaume, Sachau, dll, terutama Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, tidak luput dari serangan balik yang dilancarkan Azami. Karenanya, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa Azami adalah pakar Muslim yang pertama kali melakukan penghancuran besar-besaran terhadap teori-teori orientalis dalam kajian Hadits. Azami adalah sosok cendekiawan Muslim yang ideal, karena meskipun beliau belajar di bawah asuhan tokoh-tokoh orientalis Barat, namun beliau tidak menjadi terompet yang meneriakkan pikiran-pikiran orientalis di kalangan masyarakat Islam. Justeru sebaliknya, beliau ibarat boomerang yang menghantam kembali posisi mereka.
Sementara orientalis yang paling parah dihajar Azami adalah Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, karena dua gembong ini dinilai yang paling berpengaruh dalam hal pembabatan Hadis Nabawi, baik di kalangan orientalis sendiri maupun di kalangan sementara cendikiawan Muslim. Azami juga beruntung, karena beliau diizinkan mengkritik Schacht oleh pihak Universitas Cambridge. Berbeda dengan rekannya, Dr. Muhammad Amin al-Mishri yang tidak dipekenankan mengkritik Schacht ketika yang akhir ini hendak menulis disertasi.[27]
E.2. Perontok Teori Projecting Back
Prof. Dr. Joseph Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Lawberkesimpulan bahwa Hadits – terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam – adalah bikinan para ulama abad kedua dan ketiga hijriah. Ia mengatakan, “We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic.”
Untuk mendukung kesimpulannya ini, Schacht mengetengahkan teori Projecting Back (Proyeksi ke Belakang), yaitu menisbahkan (mengaitkan) pendapat para Ahli Fikih abad kedua dan ketiga hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi daro orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para Ahli Fikih telah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan tokoh-tokoh sebelumnya, sampai kepada Nabi SAW, sehingga membentuk sanad Hadits. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad Hadits menurut Schacht yang berarti Hadits-hadits itu tidak otentik berasal dari Nabi SAW.
Untuk menghancurkan teori Schacht ini, Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadits-hadits Nabawi yang terdapat dalam Naskah-naskah klasik. Diantaranya adalah Naskah milik Suhail bin Abu Shalih (w. 138 H). Abu Shalih (Ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah sahabat Nabi SAW. Karenanya sanad (transmisi) Hadits dalam Naskah itu berbentuk: Nabi SAW – Abu Hurairah – Abu Shalih – Suhail.
Naskah Suhail ini berisi 49 Hadits. Sementara Azami meneliti para rawi (periwayat) Hadits-hadits itu sampai generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah al-tsalitsah), termasuk tentang jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah rawi berkisar antara 20-30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, anatara Turki sampai Yaman. Sementara teks Hadits yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Maka Azami berkesimpulan, sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat Hadits palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadits, kemudian oleh generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi Hadits yang mereka buat itu sama. Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan Schacht, baik tentang rekonstruksi terbentuknya sanad Hadits, maupun bunyi teks (matan) Hadits.[28]
F. Kesimpulan

Kajian hadis, khususnya dalam rangka membuktikan keaslian sumber kedua agama Islam tersebut terus bergulir seiring perkembangan waktu. Tentu saja, ada yang positif da nada juga yang negative. Hasil dari riset tergantung terhadp metode dan instrumen yang digunakan. Sebagaimana Azami, untuk mengetahui dan membuktikan hadis tersebut otentik, maka dengan menelaah hadis satu sama lain, pendapat ulama-ulama, meneliti tradisi pengucapan dan penulisan dan menemkan matan dengan teks al-Quran. Selain itu, untuk memubktikan keotentikan hadis, menurut Azami, juga menelaah sanad-sanad malalui kitab-kitab hadis, bukan sejarah atau fikih. Keotentikan hadis juga dapat didukung oleh penulisan riwayat hadis dan penjagaannya yang sudah dilaksanakan sejak masa Nabi Muhammad saw. Dari arumen-argumennya tersebut Azami menyimpulkan bahwa hadis Nabi Muhammad saw adalah otentik dan patut dijadikan sebagai sumber hukum Islam kedua.









Daftar Pustaka
Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis Versi Muhadditsin dan Fuqaha, Yogyakarta: Teras,
t.th..
Abdul Karim, Abdul. Pemikiran Orentalis terhadap Kajian Quran Hadis,  ADDIN, Vol.
7, No. 2, Agustus 2013.
Ali Muazis, Ali. Tokoh Ahli Hadis: Mustafa al-Azami,
www.kajianhds.blogspot.in/2015/094-tokoh-ahli-hadis, diakses pada Kamis, 30 Nopember 2017.
Arifin, Fadh Ahmad . Keotentikan Hadits Nabi saw Menurut M. M. Azami,
zainulhikmah.blogspot.in/2013/03-keotentikan-hadis-saw-menurut-mm.azami, diakses pada 30 Nop. 17.
Azami, A, Mustafa. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994.
.............................., Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, Riyadh : al-Ummariyah,
1982.
Ismail, Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Penerbit Angkasa, t.th.
Isnaini, Ahmad. Historisitas Hadis dalam Kacamata Azami, dalam Epistemé, Vol. 9, No.
2, Desember 2014.
Kamaruddin. Kritik Mustafa Azami Terhadap Pemikiran Para Orientalis tentang Hadis
Rasulullah, Al-dalam jurnal Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011.
Khaeruman, Badru. Otentisitas Haditst, Bandung: Rosda, 2004.
Khoeron, Moh. Kajian Orientalis terhadap Teks dan Sejarah Al-Qur'an, dalam Suhuf,
Vol. 3, No. 2, 2010.
Pryadharizal, Ganna.“Prof. Dr. Muhammad al-Azami: Tameng Penangkis Serangan
Orientalis” dalam Majalah Sabili No. 10 Thn XVI edisi 4 Desember 2008.
Sulidar, dkk, Pemikiran Muhammad Mustafa Al-A‘Zami Tentang Penulisan Hadis Dan
Jawaban Terhadap Kritik Joseph Schacht Tentang Keautentikan Hadis, AT-TAHDIS: Journal of Hadith Studies, Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2017.
Suryadi, Yang Membela dan Menggugat Yogyakarta: Suka Press, 2011.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011
Yusuf, Khaerudin Yusuf, Al-A’zamī Dan Fenomena Qiraat Alquran: Antara Multiple
Reading Dengan Variant Reading, Jurnal Studi Islamika, Vol. 11, No.1, Juni 2014.





[1] Badri Khaeruman, Otentisitas Haditst, (Bandung: Rosda, 2004), hal. 27
[2] Abdul Karim, Pemikiran Orentalis terhadap Kajian Quran Hadis,  ADDIN, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, hal. 326.
[3] Ernawati Br Ginting, Nawir Yuslem, Sulidar, Pemikiran Muhammad Mustafa Al-A‘Zami Tentang Penulisan Hadis Dan Jawaban Terhadap Kritik Joseph Schacht Tentang Keautentikan Hadis, AT-TAHDIS: Journal of Hadith Studies, Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2017, hal. 96.
[4] M. Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), cet. 1, hlm. 5-6
[5] M. Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 700.
[6] Suryadi, Yang Membela dan Menggugat (Yogyakarta: Suka Press, 2011), h. 216.
[7] Suryadi, Yang Membela dan Menggugat, hal. 120.
[8] Ganna Pryadharizal, “Prof. Dr. Muhammad al-Azami: Tameng Penangkis Serangan Orientalis” dalam Majalah Sabili No. 10 Thn XVI edisi 4 Desember 2008. hal. 77.
[9] Ahmad Isnaini, Historisitas Hadis dalam Kacamata Azami, dalam Epistemé, Vol. 9, No. 2, Desember 2014, hal. 228.
[10] Ahmad Isnaini, Historisitas Hadis dalam Kacamata Azami, hal. 229.
[11] Khaerudin Yusuf, Al-A’zamī Dan Fenomena Qiraat Alquran: Antara Multiple Reading Dengan Variant Reading, Jurnal Studi Islamika, Vol. 11, No.1, Juni 2014, Hal. 89.
[12] Khaerudin Yusuf, Al-A’zamī Dan Fenomena Qiraat Alquran: Antara Multiple Reading Dengan Variant Reading, Hal. 110.
[13] Mustafa Azami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifiksinya, terj. Mustafa Ya’qub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 27.
[14] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhadditsin dan Fuqaha, (Yogyakarta: Teras, t.th), hal. 9-11.
[15] Kamaruddin, Kritik Mustafa Azami Terhadap Pemikiran Para Orientalis tentang Hadis Rasulullah, Al-dalam jurnal Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 222.
[16] Kamaruddin, Kritik Mustafa Azami Terhadap Pemikiran Para Orientalis tentang Hadis Rasulullah, hal. 223
[17] Ernawati Br Ginting, Nawir Yuslem, Sulidar, Pemikiran Muhammad Mustafa Al-A‘Zami Tentang Penulisan Hadis Dan Jawaban Terhadap Kritik Joseph Schacht Tentang Keautentikan Hadis, hal. 97.
[18] Ahmad Isnaini, Historisitas Hadis dalam Kacamata Azami, dalam Epistemé, Vol. 9, No. 2, 239.
[19] Ahmad Isnaini, Historisitas Hadis dalam Kacamata Azami, dalam Epistemé, Vol. 9, No. 2, 240.
[20] Ali Muazis, Tokoh Ahli Hadis: Mustafa al-Azami, www.kajianhds.blogspot.in/2015/094-tokoh-ahli-hadis, diakses pada Kamis, 30 Nopember 2017, pukul. 9.51 wib.
[21] Ali Muazis, Tokoh Ahli Hadis: Mustafa al-Azami, www.kajianhds.blogspot.in/2015/094-tokoh-ahli-hadis, diakses pada Kamis, 30 Nopember 2017, pukul. 9.51 wib.
[22] Moh. Khoeron, Kajian Orientalis terhadap Teks dan Sejarah Al-Qur'an, dalam Suhuf, Vol. 3, No. 2, 2010, hal. 236.
                                                                                                            
[23] Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Penerbit Angkasa, t.th), hal. 69.
[24] Prof. Dr. M.M. Azami, Hadis Nabawi Sejarah Kodifkasinya, hal. 537.
[25] M. Muathafa al-Azami, Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, (Riyadh : al-Ummariyah, 1982) hal. 5.
[26] Fadh Ahmad Arifan, Keotentikan Hadits Nabi saw Menurut M. M. Azami, zainulhikmah.blogspot.in/2013/03-keotentikan-hadis-saw-menurut-mm.azami, diakses pada 30 Nop. 17, pukul. 10.02 wib.
[27] Ali Mustafa Yaqub. Kritik Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011. Cetakan Keenam. hal. 26.
[28] Ali Mustafa Yaqub. Kritik Hadits.. Cetakan Keenam. hal. 27-29.