Blogger Widgets PRIVAT BAHASA ARAB BACA KITAB KUNING JAKARTA: Agustus 2017
Tingkatkan totalitas menghamba dengan memaksimalkan peran Al-Qur'an dan Al-Hadits, serta peran akal dalam menggapai apa pun yang ingin kita capai dalam dunia atau pun akhirat

Senin, 28 Agustus 2017

Full Day School (FDS) dan Akar Radikalisme di Indonesia

Oleh Lufaefi
Email: eepivanosky@gmail.com
HP: 08977854425

Sekolah merupakan tempat dimana anak-anak belajar tentang banyak hal. Dalam tempat pendidikan tersebut selain seorang anak mengenal banyak mata pelajaran, mereka juga mengenal kondisi lingkungan dan sosialnya, dari mulai berinteraksi dengan guru, teman sekelas, teman ekstrakurikuler, bahkan – tidak menutup kemungkinan – mengenal dunia luar sekolah bersama teman-teman satu sekolahnya. Sekolah menjadi tempat yang sangat vital dalam mencetak karakter seorang anak untuk tumbuh menjadi dewasa. Akan tetapi, interaksi siswa dengan orang tuanya juga harus diwujudkan guna membentengi dan mengawasi interaksinya dengan hal-hal yang akan merusak karakternya. Hubungan emosional antar siswa dan orang tua harus diindahkan demi tercegahnya anak-anak dari kondisi sosial yang membahayakan.

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia gempar dengan kebijakan full day school (FDS) yang dilayangkan oleh Mendikbud Muhadjir Effendi. Alih-alih berangkat dari kebutuhan penguatan pendidikan karakter bagi siswa setingkat SD, SMP dan SMA, FDS justru mengancam matinya lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini telah banyak memberi kontribusi lebih dari sekadar menanamkan karakter anak bangsa. Adalah Madrasah Diniyah (MADIN), sebuah lembaga Islam yang telah menjaga dan merawat anak-anak Indonesia untuk tumbuh mengenal kesantunan, keragaman, kemoderasian, dan keindonesiaan.

FDS dan Pengawasan Orang Tua

Sebagaiaman diketahui bahwa full day school (FDS) adalah sebuah sistem sekolah yang memberlakukan jam sekolah sehari penuh antara jam 07.00 – 16.00 WIB. Dengan kebijakan seperti ini, maka waktu dan kesibukan anak-anak lebih banyak dihabiskan di lingkungan sekolah dari pada di rumah dengan berinteraksi dan diawasi oleh orang tua. Lebih jauh lagi anak-anak, baru akan sampai di rumah antar jam 17.00 – 18.00 sore. Setelah sampai rumah tidak bisa kita nafikan hanya rasa capek dan lelah yang mereka rasakan, dan tidur pun menjadi alternatif terakhir untuk menghilangkan rasa letih akibat seharian sekolah tersebut.
Keesokan harinya, ketika anak-anak baru bangun dari tidurnya, mau tidak mau harus bersiap-siap untuk kembali menuju tempat sekolah, dan akan menjalankan aktivitas seperti biasa dari jam 07.00 – 16.00 WIB. Begitulah seterusnya setiap hari, anak-anak digempur dengan full time kegiatan bersekolah. Endingnya, kegiatan yang terus menerus dari pagi hingga sore mengakibatkan mereka jarang tersentuh oleh nasihat orang tua. Interaksi batin antar diri mereka dengan orang tuanya hampir hilang. Kondisi inilah yang mengakibatkan otak mereka mudah tersentuh pemahaman-pemahaman luar tanpa adanya filter dari orang tuanya. Kondisi sosial siswa di sekolah, khususnya di luar sekolah bersama teman-temannya, berpotensi masuknya ajaran-ajaran yang akan menipu dirinya dengan kedok agama.
Hal di atas senada dengan apa yang dikatakan oleh Amrizal Inspektur Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), bahwa radikalisme dan terorisme di Indonesia yang sebagain besar dilakukan oleh pemuda disebabkan karena kurangnya pengawasan orang tua terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak-anaknya (Guntoro, 2017). Ketika sekolah berlangung dalam waktu sehari full dan minimnya pengawasa orang tua, kemungkinan besar akan banyaknya pemahaman dan ideologi yang menghampiri mereka untuk kemudian terjerumus dalam aksi-aksi radikalisme dan terorisme.

FDS dan Karakter Orang Indonesia

Selain dampak yang telah disebutkan di atas bahwa FDS dapat membuka ruang radikalisme kepada para siswa karena kurangnya pengawasan dari orang tua, FDS juga akan menjauhkan karakter anak-anak dari watak sebagai bangsa Indonesia yang santun dan menghargai perbedaan. Hal ini bermula dari fakta bahwa ketika tidak diberlakukannya FDS dan anak-anak pulang ke rumah lebih cepat, mereka terjaga dalam pengawasan orang tua, dan sebagian besar yang lain belajar di Madrasah Diniyah (MADIN); lembaga pendidikan yang terbukti telah mencetak karakter bangsa Indonesia yang santun dan menghargai perbedaan yang ada dalam negara yang multikultural ini.

Pernyataan bahwa pembelajaran MADIN dapat mencetak generasi bangsa yang memiliki karakter yang santun dan juga beradab, adalah sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Zahratul Khusna. Penelitian skripsi di IAIN Salatiga (2014) tersebut menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan MADIN bagi seorang siswa sangat besar dalam membentuk karakter yang santun dan menghormati perbedaan (Khusna, 2014). Sehingga dengan pendidikan agama yang mereka peroleh di MADIN, sangat mendukung pribadi anak dalam menjauhi perilaku terorisme ataupun radikalisme yang dapat mengancam diri dan bangsanya. Sebaliknya, aturan FDS yang menjauhkan anak-anak dari pendidikan di MADIN – bahkan akan mematikan MADIN – sangat berpotensi untuk menumbuhkan karakter yang minim penghormatan terhadap keberagaman, minim keagamaan, dan minim adab, yang endingnya akan mengakibatkan gampangnya pemahaman-pemahaman radikal akan menyusup dalam fikirannya.

FDS dan Masa Depan Ahlussunah Wal Jamaah

Konsekuensi diberlakukannya Perkemendikbud full day school (FDS) akan mengakibatkan anak-anak kehilangan waktu belajar di Madrasah Diniyah (MADIN). Hal tersebut karena jam belajar di MADIN di mulai antar jam 13.00 – 15.00 WIB yang tentunya bentrok dengan aktivitas sekolah yang baru akan selesai pada jam 16.00 atau 17.00 WIB. Bagi anak-anak, tidak ada jalan lain kecuali memilih aturan sekolah sebagai pendidikan formal daripada memilih MADIN yang hanya pendidikan non-formal.

Konsekuensi selanjutnya, pendidikan agama tersebut akan mati tergerus oleh FDS. Pada akhirnya, tergerusnya MADIN juga akan mengakibatkan tergerusnya kesempatan anak-anak untuk memahami ajaran-ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam MADIN anak-anak diajarkan keyakinan-keyakinan yang sudah menjadi pondasi keagamaan umat Islam Indonesia, yaitu ASWAJA. Di dalam MADIN, anak akan diajarkan sifat-sifat wajib bagi Allah dan Rasul-Nya, sifat mustahil bagi Allah dan Rasul-Nya dan sifat jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya. Tidak hanya itu, MADIN juga mengajarkan fikih, akidah, tajwid, dan ilmu keislaman lainnya yang tidak ditemukan di sekolah-sekolah formal. MADIN terus menguatkan pendidikan anak untuk mengenal dan meyakini faham Asy’ariyyah sejak dini, sebagai benteng menjadi muslim yang santun dan menghargai perbedaan (Aqil Siroj, 2017).

Mengapa ajaran ASWAJA akan menjadi filter anak-anak untuk bersikap santun dan moderat, serta tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang berbau radikalisme? Jelas, sebab di dalam Aswaja diyakini bahwa seorang muslim harus menjalankan empat prinsip, yaitu tawassuth (moderat), tasammuh (toleransi), tawazun (seimbang), dan ta’addul (adil). Empat sikap tersebut sebagai benteng anak bangsa dalam menangkal tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan runtuhnya kebhinekaan bangsa Indonesia yang dipelajari sejak anak dalam usia dini..
FDS VS Islam Rahmatal Lil ‘Alamin

Kita semua sadar bahwa Indonesia adalah negeri yang di dalamnya terdapat banyak keberagaman, baik keberagaman ras, suku, budaya, etnis, dan agama. Islam sebagai agama yang sempurna harus menjadi rahmat bagi seluruh alam. Semua alam harus dinaungi oleh keberadaan Islam yang santun dan menyejukkan. Di sinilah sebagaimana menururt Mukafi bahwa Pesantren dan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) memiliki peran yang besar dan strategis dalam membangun format Islam rahmatal lil ‘alamin. Madrasah Diniyah menjadi titik sentral dalam menciptakan karakter bangsa yang mencintai keislaman dan keindonesiaan yang multikultural (Mukafi, 2016).
Sebaliknya, ketika kesempatan belajar anak-anak terhalang oleh aturan FDS yang mengharuskan mereka pulang sore, bahkan malam, maka terhalang juga kesempatan anak bangsa dalam mengenal dan mengimplementasikan Islam rahmatal lil ‘alamin. Sopan santun dan adab mereka akan ditinggalkan. Bahkan, nikmat sebagai warga Muslim Indonesia akan pupus ketika mereka jauh dari sentuhan-sentuhan Islam yang ramah yang cocok bagi Indonesia. Kondisi yang mengharuskan mereka manut terhadap aturan FDS, juga mengharuskan mereka untuk tidak tersentuh nilai-nilai Islam yang ramah yang sudah menjadi ajaran Madrasah Diniyah (MADIN).

Akar Radikalisme

Ketika anak bangsa sudah tergerus oleh aturan FDS, maka produk anak madrasah yang semeskinya memberikan peran dalam berislam secara toleran akan sirna. Ditambah lagi dengan kondisi sekarang yang sedang maraknya isu-isu radikalisme. Tentu saja ketika terus dibiarkan maka radikalisme akan semakin bertambah dan meluas, sementara produksi anak bangsa yang memiliki potensi sebagai filter radikalisme menururn drastis, bahkan bisa hilang dengan diberlaskukannya full day school (FDS) (Emhas, 2017). Di sinilah kahawatiran yang akut sudah semeskinya menjadi pekerjaan rumah bersama bagi seluruh elemen bangsa Indonesia dan mencari solusi alternatif untuk menanggulangi kehawatiran yang sunggu tidak diinginkan. Radikalisme akan menjadi isu yang terus melambung dengan fenomena matinya Madrasah Diniyah (MADIN). Bahkan, akar radikalisme akan terus subur dengan tergerusnya pendidikan agama yang sudah terbukti banyak memberi kontribusi dalam membangun bangsa yang santun dan akur dalam multikulturalnya.

Meninjau Ulang FDS, Menumbuhkan Kebhinekaan

Betapa FDS memberi efek yang tidak diinginkan bagi bangsa ini. Alih-alih dicuatkan untuk membentuk karakter anak bangsa melalui pendidikan, justru melemahkan bahkan merugikan keberagaman dan kebhinekaan yang sudah lama tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud Muhadjir Effendi meski ditinjau ulang – untuk tidak mengatakan dibatalkan – demi mempertahankan kebhinekaan kita.
Kita sadar bahwa tidak semua karakter siswa se-Indonesia sama, tidak sama antar budaya lokal satu anak dengan anak yang lainnya, pun, tidak semua sama kehidupan orang tua satu siswa dengan orang tua siswa yang lainnya. Betapa keberagaman di negeri ini harus dijaga dan dirawat, salahsatunya dengan meninjau ulang keputusan Kemendikbud tentang FDS. FDS tidak perlu diberlakukan pada sekolah atau madrasah yang di dalamnya didapati siswa yang juga mengenyam pendidikan di Madrasah Diniyah (MADIN). Bahkan alangkah lebih baik juga, jika Perkemendikbed dibatalkan demi mengantisipasi aksi radikalisme dan terorisme yang berpotensi besar akan muncul ketika siswa-siswa tidak dibekali dengan pendidikan agama di Madrasah Diniyah (MADIN).

Jakarta, 28 Agustus 2017.

Minggu, 27 Agustus 2017

Merawat Kemerdekaan dengan Nilai-nilai Qur’ani


Penulis: Lufaefi (Mahasiswa STFI Sadra, Tafsir 2014)

Sebagai bangsa yang maju, Indonesia memiliki catatan panjang sebelum akhirnya menoreh kemerdekaan. Masa pahit yang dirasakan oleh bangsa Indonesia saat dijajah oleh Belanda dan Jepang telah berakhir dengan semangat bangsa Indonesia yang rindu akan kemerdekaan. Masa itu telah sampai pada umur 72 tahun. Sampai pada umur tersebut bangsa Indonesia telah banyak mengalami kemajuan dalam segala bidang. Kemerdekaan memang memerlukan pengorbanan dan tidak sedikit memakan korban. Lalu setelah merdeka, apa yang harus kita lakukan sebagai bangsa Indonesia untuk merawat semangat kemerdekaan?

Merdeka bukan berarti tanpa permasalahan setelahnya. Pergolakan politik di Indonesia yang berkembang pesat, mengakibatkan munculnya berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia. Maraknya isu terorisme, radikalisme, dan isu sara menjadi polemik bangsa yang akhir-akhir ini berceceran di mana-mana. Toleransi menjadi hal yang mulai dilupakan oleh anak bangsa. Mereka lupa dengan jati dirinya sebagai ‘Indonesia’. Lebih parah lagi, mereka lupa arti kebhinekaan yang selama ini menjadi dasar bangsa sendiri. Fenomena semua itu tentu saja akan melemahkan semangat mencintai bangsanya sendiri dan merapuhkan semangat kemerdekaan yang telah digagas pahlawan kita.

Al-Quran sebagai pedoman bagi seluruh manusia memberi solusi antisipatif untuk menyudahi problem-problem kebangsaan yang meresahkan semangat kemerdekaan tersebut. Nilai-nilainya memberi ruh bagi setiap insan untuk kembali menjaga keberagaman, menolak kekerasan dan menyudahi isu-isu sara yang ada. Hal itu pula sebab al-Quran adalah solusi untuk umat manusia, apapun permasalahannya, kapapun waktunya, dan dimanapun tempatnya (salih likulli zaman wal makan).

Al-Quran Menjaga Kemajemukan

“Hai, Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Dengan ayat ini jelas bahwa al-Quran mengakui adanya pluralitas suku, kultur dan agama. Semuanya adalah sunatullah. Tuhan menciptakan manusia secara beragam, bukan hanya pada realitas fisikal, tetapi dalam ide, gagasan, keyakinan dan agama. Dengan menyadari bahwa pluralitas adalah keniscayaan yang pasti ada, bangsa Indonesia akan terbebas dari sikap intoleransi yang dapat menimbulkan radikalisme dan terorisme. Kesadaran terhadap nilai-nilai Qurani ini akan menyulut kembali semangat kemerdekaan dengan menjaga dan merangkul keberagaman. Semangat kemerdekaan akan terus terbina dengan sikap saling menghormati satu sama lain.

Al-Quran Menangkal Isu-isu Sara

Al-Quran sebagai panduan umat Islam memberi cara untuk melerai sikap saling caci maki dan isu-isu sara yang tersebar dengan bebas melalui media.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (Al-Hujurat [49: 6)

Saling caci maki yang akhir-akhir ini ramai di media tidak bisa dihindari, dan menjadikan bangsa ini lalai akan nilai-nilai kemerdekaan yang meskinya dipupuk dengan nilai keharmonisan antar sesama. Al-Quran memberi solusi untuk memeriksa dan meng-chek segala apa saja yang belum jelas beritanya. Isu hoaks yang melintas di lingkungan kita harus dikaji ulang secara matang agar tidak menimbulkan kegelisahan yang menggembosi cita-cita bersama semua bangsa. Dengan kehati-hatian dalam menemukan isu-isu yang tidak jelas sumbernya, kita akan terbebas dari isu sara yang mengancam semangat kemerdekaan bangsa Indonesia.

Al-Quran dan Nasionalisme

Mencintai Tanah Air adalah puncak untuk menjaga bangsa dan semangat kemerdekaan yang sudah puluhan tahun. Melalui nasionalisme, jiwa dan raga bangsa Indonesia akan kokoh untuk membentengi hal-hal yang akan merusak warisan kemerdekaan.
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya” (Al-Baqarah [2]: 84).

Ayat Al-Quran ini menggambarkan perintah Allah Nabi Muhammad untuk menetap di Kota Makkah yang merupakan kota kelahiran Nabi. Kecintaan kepada kota lahinya harus disadari dan diresapi sebagai tempat yang mensejarahkan diri Nabi. Begitulah al-Quran, memerintahkan kita untuk mencintai tanah Air. Mencintai tanah air dalam arti menjaga budaya dan memperkokoh semangat kebangsaan sebagai upaya menjaga dan merawat nilai-nilai kemerdekaan.

Merawat kemerdekaan Indonesia sejatinya adalah menjauhkan bangsa dari radikelisme-terorisme, isu-isu sara, dan menjaga semangat mencintai Tanah Air Indonesia dengan keberagamannya. Al-Quran adalah wahyu yang memiliki nilai-nilai suci yang mampu mewujudkan kesejatian dalam merawat kemerdekaan. Melalui nilai-nilai mulianya, Al-Quran menjadi senjata ampuh dalam menjaga, merawat dan meruwat semangat kemerdekaan yang sudah seharusnya terus dipupuk oleh seluruh bangsa Indonesia.

Reinterpretasi Ayat-Ayat Kekerasan: Upaya Menyudahi Radikalisme Agama dan Menyemai Perdamaian dalam Bingkai Keindonesiaan


Oleh Lufaefi
Fakultas Ushuluddin STFI Sadra Jakarta
email: eepivanosky@gmail.com

Pendahuluan

Perdamaian merupakan dambaan setiap insan. Hal itu memberi penegasan bahwa pada dasarnya manusia selalu memiliki cita-cita hidup tentram dan nyaman. Apapun suku dan bangsanya setiap manusia menginginkan hidup bebas dari kekerasan dan intimidasi atas dasar apapun, tak terkecuali bangsa Indonesia. Dalam konteks keindonesiaan, Negara melalui Pancasilanya mencita-citakan perdamaian abadi terhadap seluruh masyarakatnya, apapun agamanya, sukunya, rasnya, dan apapun perbedaan lainnya. Lagi-lagi hal itu mengingatkan bahwa perdamaian adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan umat manusia.

Namun sungguh disayangkan, akhir-akhir ini perdamaian di negara yang memiliki banyak perbedaan ini semakin sempit. Perdamaian menjadi sesuatu yang mahal untuk diraih dalam bingkai keindonesiaan. Berbagai tindakan redikalisme tidak sedikit menjadi penghalang tercapainya perdamaian yang semeskinya menjadi ciri bagi bangsa Indonesia. Praktik-praktik intimidasi atas nama agama menjadi hal yang juga mendukungnya. Anehnya, praktik-praktik tersebut didasari atas teks-teks suci ayat al-Quran yang seharusnya menjadi penyejuk dan petunjuk di setiap waktu dan tempat manapun al-Quran berada (Mustaqim, 2013). Interpretasi terhadap ayat-ayat yang secara leksikal terkesan “radikal” dan ditafsiri secara sempit dan rigid menjadi justifikasi final bagi pemahaman sebagian kelompok untuk menyalahkan dan bahkan meneror siapa saja yang tidak sepaham. Akhirnya ayat al-Quran dan Islam menjadi hal yang menakutkan. Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi al-Quran menjadi agama yang kerap kali dituding sebagai biang kekerasan dan jauh dari perdamaian.
Pada akhirnya, interpretasi yang demikian menjadi pemahaman beberapa kelompok yang mengatasnamakan Islam untuk melegalkan aksi radikalismenya. Interpretasi terhadap ayat-ayat kekerasan yang ditafsiri secara gampangan berpotensi besar memunculkan pertikaian antar kelompok. Lebih-lebih ketika produk tafsirnya dituangkan dalam keindonesiaan dengan banyaknya perbedaan di dalamnya. Dengan itu juga cita-cita untuk menyemai perdamaian dalam bingkai keindonesiaan akan mudah pupus.

Oleh hal demikian, diperlukanlan peninjauan ulang terhadap produk-produk interpretasi yang akan berakibat pada gencarnya radikalisme dan kekerasan. Ayat al-Quran yang terkesan memberi peluang radikalisme atas nama agama perlu di-interprestasi dengan melihat historis dan kontekstualnya. Al-Quran sebagai hudan harus memberi petunjuk untuk menciptakan perdamaian abadi sebagaimana cita-cita berdirinya bangsa dan Negara Indonesia.

Histori Radikalisme Berasaskan Ayat-Ayat al-Quran

Teks keagamaan umat Islam yang multitafsir menjadikannya ditafsiri oleh berbagai latar belakang penafsirnya. Keberadaannya sebagai wahyu yang mati (tak bias berbicara) membuatnya sering ditarik-tarik demi kepentingan pribadi penafsirnya atau kepentingan politiknya. Teks-teks ayat memberi kesempatan untuk ditafsiri oleh kelompok-kelompok manapun, tak terkecuali kelompok radikalis yang kerap kali menafsiri ayat al-Quran secara parsial dan dangkal.
Sepanjang sejarah Islam, banyak ditemukan bentuk-bentuk radikalisme yang didasarkan atas ayat-ayat al-Quran. Sebut saja peristiwa Mihnah yang terjadi pada masa Kholifah Ma’mun yang dilakukan oleh kelompok Muktazilah. Dalam ini kelompok Muktazilah mengintimidasi siapa saja yang tidak sepaham dengannya menggunakan dalil-dalil al-Quran (Abdillah, 2014). Selanjutnya adalah kekerasan yang terjadi saat masa akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib, yaitu oleh Khawarij. Kelompok ini menjadikan ayat-ayat al-Quran dari sisi dohir ayat semata sebagai landasan pergerakannya. Seperti ayat yang artinya siapa saja yang tidak menghukumi dengan hukum Allah maka ia kafir (Al-Maidah: 44) yang diinterpretasikan dengan mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan keyakinannya. Kelompok ini selalu mengandalkan teks ayat-ayat al-Quran untuk dijadikan legitimasi aksinya, dengan mengesampingkan konteksnya. Mereka mengklaim bahwa agama Islam sangat mendukung sekali akan aksi kekerasan-kekerasan (radikalisme) atas nama jihad (Zuhdi, 2012).
Pada masa pra-modern juga ditemukan radikalisme yang dilandasi atas pemahaman keagamaan, yaitu yang dipelopori oleh Abdul Wahhab. Ia mengkafirkan dan membid’ahkan bahkan membunuh siapa saja yang tidak beribadah sesuai leterlek al-Quran dan Hadits. Karena baginya [teks] al-Quran dan al-Hadits adalah mutlak kebenarannya. Tidak boleh ditikungkan ke selain keduanya, harus murni (Fadhl, 2015).
 Sementara itu menurut Haidar Nasir, aksi-aksi radikalisme di Indonesia dengan mengatasnamakan agama muncul setelah runtuhnya orde baru. Gelombang demokrasi yang memberi kesempatan kebebasan tanpa batas dalam mengartikulasikan faham dan keyaninan setiap warga Indonesia menjadi subur. Terutama adalah perihal pembentukan Negara Islam atau hukum Islam yang meski diterapkan di Indonesia dan menggantikan hukum undang-undang yang menurut sebagian kelompok bukan merupakan aturan dari Tuhan. Alasan perihal sekulernya negara Indonesia dan tidak sesuai dengan Islam dan al-Quran membuat beberapa kelompok dengan mudahnya menanggalkan pemahaman agamanya yang sungguh tidak cocok dalam konteks Indonesia sebagai negeri perdamaian (Nashir, 2010). Menurut Khamani Zada kelompok tersebut diantaranya: FPI, MMI dan HTI. Kelompok-kelompok tersebut menggunakan ayat-ayat al-Quran sebagai legitimasi aksinya yang tak jarang menimbulkan aksi-aksi radikalisme di Indonesia (Zada, 2002).

Reinterpretasi Ayat-Ayat Kekerasan

Perlu kita ketahui sebelumnya bahwa, penyebab dari timbulnya radikalisme di muka publik bukanlah karena ayat Al-Quran yang mendorong manusia untuk melakukan hal itu, melainkan karena maraknya interpretasi yang radikal terhadap teks-teks Al-Quran itu sendiri (Bagir, 2017). Hal ini yang sudah semeskinya kita tengok dan tafsiri ulang pemahaman agama kekerasan yang diproduksi oleh kelompok-kelompok radikal atas ayat-ayat al-Quran. Berikut beberapa ayat-ayat (kekerasan) tersebut:
QS. Al-Hajj ayat 39-40:
“Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka didzalimi. Dan sungguh Allah Maha Kuasa Menolong mereka itu,  yaitu orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah”. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong  orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.
Menurut Khamani Zada, ayat ini adalah salah satu ayat yang sering dijadikan legitimasi dalil kelompok-kelompok ekstrem dalam aksi radikalismenya dengan mengatasnamakan jihad. Mereka tidak pernah merasa bahwa aksinya tersebut bertentangan dengan Islam. Sebab meraka merasa telah dilegalkan aksi kekerasannya tersebut oleh al-Quran yang dipahaminya.
Secara sepintas, ayat di atas merupakan sebuah izin dari Allah untuk melakukan peperangan terhadap kaum musyrikin saat itu. Tetapi, menurut Baidlawi bukan berarti ayat ini kemudian dijadikan dalil radikalisme ketika melihat “perbedaan” melekat pada diri orang lain. Karena jika dilihat dari asbabunnuzulnya Rasulullah dan kaum muslimin saat itu mendapatkan perlakuan kasar dan ditindas (secara fisik) oleh kaum musyrikin Makkah dalam waktu yang sudah cukup lama, sementara kaum Muslimin belum bisa melakukan apapun sebelum turunnya ayat ini (Baidhawi, 1438).
Masih menururt Al-Baidhawi, kalimat “telah diizinkan” dalam ayat ini berarti bahwa ada usaha sebelumnya dari kaum Muslim saat itu untuk membela agama Allah dengan cara lain selain melakukan peperangan. Hal ini menunjukan betapa Islam sebagai rahmat lil ‘alamin menghendaki sebuah cara yang damai dan aman untuk mengajak siapapun kejalan-Nya. Tidak diwajibkan perang, terlebih jika tidak adanya penganiayaan fisik oleh mereka. Selain itu, ayat ini juga secara tersirat mengungkapkan kepada pembaca bahwa bukan kaum muslimlah yang pertama kali memicu terjadinya peperangan melainkan orang musyrik itu sendiri. Sehingga ketika keadaan yang mendesak, barulah kaum muslim boleh memerangi.
Sementara itu menurut Ibnu Katsir, bahwa syariat untuk berperang, Tuhan perintahkan kepada manusia agar mereka mengerahkan kemampuannya semaksimal mungkin dalam ketaatan kepada-Nya, bukan memulai memerangi dahulu (Katsir, 1418), seperti yang tercatat dalam surat Muhammad [47]: 04 yang artinya:“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka”.
Maka jelaslah interpretasi bahwa ayat di atas sebagai dalil dibolehkan dan diwajibkan untuk berperang dan memerangi siapa saja yang berbeda merupakan hal yang terlalu terburu-buru. Telah jelas juga bahwa Nabi melakukan peperangan karena diawali perang dan disakiti oleh kaum musyrik dan diperangi secara fisik. Bukan yang lain.
Jika kita kontekstualisasikan dalam keindonesiaan, yang mana masyarakat dapat rukun dengan perbedaan yang ada di dalamnya –  sebab tiadanya penyerangan fisik apapun antar satu kelompok dengan yang lain –  sangat salah untuk mengatakan bahwa ayat di atas sebagai dalil untuk melakukan tindakan radikal kepada orang atau kelompok yang berbeda keyakinan. Perlu ditegaskan lagi, tiadanya penyerangan fisik dan tidak dimulainya peperangan dari Nabi dan kaum Muslim memberi kesimpulan bahwa aksi peperangan fisik dibolehkan manakala ada segolongan yang memerangi kita terlebih dahulu secara fisik. Ketika peperangan saja tidak diizinkan jika tanpa sebab, maka lebih-lebih aksi radikalisme dengan mengatasnamakan jihad, sungguh tidak sedikitpun dilegalkan oleh ayat ini.
QS.At-Taubah [9]: 5:
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Berdasarkan tafsir Jalalain, jika dilihat dari asbabunnuzulnya surat, surat ini merupakan surat “azab”, dan salah satu perintah yang ada dalam surat ini adalah penggunaan pedang (berperang). Artinya bahwa ayat-ayat dalam surat at-Taubah ini sangat jelas berimplikasi dijadikan dalil dalam peperangan dan atau radikalisme oleh siapa saja, tak terkecuali kelompok ekstrimis (Suyuthi dan Mahalli, Tt).
Dari sisi asbabunnuzulnya, ayat ini turun sekitar lima belas bulan sebelum nabi wafat, atau dengan kata lain, surah ini turun sekitar 22 tahun setelah turunnya ayat pertama. Ini menunjukan bahwa Islam selalu mengajak pada perdamaian dan menciptakan suasana aman bagi siapapun tak terkecuali orang Musyrik. Adapun peperangan yang dilakukan nabi ketika di Madinah, mengutip dari tafsiran Quraish Shihab, Muhammad Al-Gazhali menyebutkan bahwa selama 22 tahun Rasulullah melakukan perang, hanya sekitar 200 orang yang meninggal dari kalangan Musyrikin. Dari uraian ini dapat kita ambil sebuah poin, bahwa pada hakikatnya Islam selalu menawarkan jalan yang damai tanpa harus menumpahkan darah sesama manusia. Adapun perang yang kemudian dilakukan kaum muslim itu merupakan perlawanan untuk mempertahankan diri. Rasulullah dan kaum muslim tidak sama sekali memulai memerangi kaum musyrik atau kafir (Shihab, 2002).
Sementara itu, jika kita lihat kekacauan yang terjadi akhir ini-ini, baik di tingkat Internasional maupun nasional (Indonesia), bukan orang-orang non-Islam yang mengangkat pedang untuk berperang, justru malah orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai Islamlah yang kemudian mencederai nama Islam itu sendiri, padahal jelas bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena dapat memberikan kesan  bahwa Islam tidak rahmat lil ‘alamin.
Menurut Quraish Shihab, perintah untuk membunuh di sini bukanlah sesuatu yang diwajibkan melainkan hanya alternatif untuk melawan para kaum musyrikin. Adapun perlawanan yang muslim lakukan tentunya sesuai dengan perlakuan para kaum musyrik terhadap kaum muslim itu sendiri.  Maka dari itu, tidak semua kaum musyrik memerangi kaum muslim, sehingga kaum musyrik yang memiliki kecenderungan untuk beriman kepada agama Islam dan tidak memerangi muslim, kita tidak diperbolehkan untuk memeranginya terlebih dahulu. Hal ini ditegaskan dalam kaliamat terakhir pada ayat di atas yang artinya“Jika mereka bertaubat dan melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, maka lepaskanlah jalan mereka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang”.
Sementara itu Ibn Katsir menjawab persoalan ayat ini dengan menyatakan bahwa ayat tersebut dibatasi QS. Al-Baqarah [2]:191 yang artinya: Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
Sebagaimana penjelasan dari atas, sisi historisitas ayat ini sangat jauh untuk dijadikan legitimasi aksi radikal kepada mereka yang berbeda keyakinan, terlebih jika di Indonesia. Ayat di atas memberi perintah kepada kaum muslimin untuk memerangi kafir hanya untuk mempertahankan diri, bukan memerangi dahulu tanpa sebab. Jika kita pahami dengan benar, maka sungguh jauh ayat ini untuk dimaksudkan bolehnya memerangi kaum yang berbeda keyakinan, terlebih jika adanya tidak menganggu dan tidak memerangi kita sebagaimana non-muslim di Indonesia. Sehingga dengan ini kita tidak butuh pengawasan kekerasan non-muslim. Al-Quran sebagai hudan sudah semeskinya bisa mengharmoniskan antar manusia dengan perbedaannya. Al-Quran meski menjadi penawar kedamaian di antara perbedaan, tak terkecuali di Indonesia, termasuk maksud ayat di atas jika kita tarik melalui asbab an-nuzulnya, yaitu bukan sama sekali melegalkan peperangan tanpa sabab mempertahankan diri dan tanpa diperangi terlebih dahulu.
Perintah Perdamaian dalam Al-Quran
Indonesia adalah negara pluralitas. Berbagai keberagaman di dalamnya, baik agama, suku, ras, budaya, pulau, dan sebagainya, membuatnya harus bisa diharmoniskan satu dengan yang lainnya agar selalu tercipta negara yang utuh dan berperadaban. Kita juga tidak bisa menafikan bahwa Indonesia didomniasi oleh penduduk Muslim. Hal ini menjadi kemungkinan besar keberadaan Muslim lebih berkuasa dari kelompok selainnya. Menjadi sangat mungkin juga kelompok Muslim menguasai apa saja dengan melalui berbagai cara, salahsatunya dengan aksi radikal dengan dalil keagamannya, yaitu dengan ayat-ayat Al-Quran yang berpotensi ditafsiri dengan maksud kekerasan.
Namun, ketika kita sadar bahwa dari sisi historis dan konteks sejatinya ayat-ayat yang terkesan melegalkan kekerasan dan tak hentinya dijadikan dalil pembenaran untuk menuai radikalisme tidak samasekali benar, maka gugurlah cita-cita siapa saja yang ingin mendiskkreditkan kelompok yang tidak sekeyakinan atas nama Islam dan ayat al-Quran. Oleh hal itu, diperlukanlah landasan perdamaian untuk kemultikulturalan negeri ini. Ayat yang memberi indikasi perdamaian harus kita ajukan untuk Indonesia damai. Ayat al-Quran yang menjadi basis dalam merangkul semua perbedaan harus kita munculkan sebagai kritik dan antitesis ayat-ayat kekerasan dan untuk menjunjung tinggi perdamaian.
Sosio-kultural masyarakat Indonesia dengan keberagaman keyainan, faham, agama, dan sebagainya, juga menjadi pertimbangan kuat dalam menuangkan interpretasi ayat-ayat al-Quran dengan konprehensif dan sesuai cita-cita al-Quran sebagai petunjuk dan penyejuk bagi seluruh manusia. Tentu saja hal itu mengingat bahwa al-Quran adalah wahyu kasih sayang yang diturunkan kepada Muhamad sebagai nabi rahmat lil ‘alami, yang semeskinya memberi perdamaian di muka bumi ini, kepada siapa saja.
Ayat al-Quran yang mendorong untuk menyemai dan menciptakan perdamaian (bukan kekerasan) salahsatunya yaitu QS. Al-Bararah [2]: 28:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”
Penjelasan umum mengenai ayat di atas bahwa manusia terbagi menjadi dua golongan, yakni ada yang baik dan ada yang rusak. Golongan pertama hanya mengharapkan keridhoan dari Allah atas amal perbuatannya. Sedangkan golongan kedua yakni yang selalu menimbulkan kerusakan di muka bumi, baik itu tanaman maupun membunuh hewan ternak. Maka dari itu, pada ayat ini Allah memberi nasihat kepada kita bahwa ciri khas orang-orang mukmin ialah bersatu dan bersepakat, bukan pecah belah dan tercerai-berai. Bisa dikatakan bahwa iman seseorang tercemin ketika hatinya dan dirinya telah damai dalam perbedaan (Katsir, 2008).
Pada ayat di atas, menurut Ali Asshabuni, kata Kaffatan diartikan sebagai menuruti hukum-hukum Allah secara keseluruhan dengan dilandasi berserah diri, tunduk dan ikhlas. Adapun pokok-pokok berserah diri kepada Allah ialah cinta damai dan meninggalkan pertempuran di antara orang-orang yang sehidayah. Perintah pada ayat ini menunjukkan arti tetap dan abadi, yang senada dengan firman Allah Swt : dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. QS. Al-Baqarah [2]: 114.
Pada ayat tersebut juga melarang kita untuk mengikuti jalan setan. Jalan setan yang dimaksud yaitu jalan yang menimbulkan radikalisme atas nama agama atau pertentangan dan persengketaan.  Karena setan itu  merupakan lawan/musuh manusia, hidup tanpa perlawanan akan sunyi, sepi, mati tidak ada keindahan, tidak ada kemajuan. Maka dari itu untuk melawan setan perlu “syariat Islam”. Sebagaimana contoh umat Yahudi pada mulanya adalah umat yang bersatu dan berpegangan dengan satu kitab, kemudian datanglah setan dengan menggoda mereka, sehingga pecahlah kesatuan mereka menjadi beberapa sekte dan aliran (Al-Syaukani, 1419).
Menurut Hamka, Islam; al-silmi dalam ayat di atas dapat berarti juga al-Musalamah yang berarti suasana perdamaian di antara dua pihak yang selama ini belum damai. Islam artinya menyerahkan diri, karena segala sesuatu bergantung pada-Nya, dan orang Islam harus menggantungkan diri hanya kepada Allah. Bukan pada manusia, kekuasaan, apalagi syaitan. Betapa Islam dan damai merupakan satu kesatuan yang tak bisa disingkirkan. As-Silmi juga diartikan sebagai salah satu prinsip utama yang ditanamkan Islam dalam jiwa pemeluknya. Kedamaian haruslah tertanam pada kepribadian setiap muslim, karena kehadiran Islam tak lain adalah untuk menyucikan kehidupan pemeluknya. Jelas sekali bahwa aksi kekerasan atas nama apapun semeskinya kita yakini bukan sama sekali mewakili Islam (Hamka, 2003).
Dari beberapa kata di atas dapat disimpulkan bahwa Islam  ialah agama di mana pemeluknya harus taat, patuh, manut, penyelamat, bersih, suci, damai, adil, jujur, tangga/meningkat, dinamis, tulus, ikhlas, dan senang bahagia. Tidak sama sekali melegalkan radikalisme, intimidasi, saling caci maki, dan sebagianya.
Sebagaimana telah kita akui bahwasanya seluruh isi al-Quran dan tuntunan Nabi merupakan pedoman umat Islam yang harus diakui dan diikuti. Semuanya diakui kebenarannya secara mutlak, meskipun secara keseluruhan belum dikerjakan, jangan sampai ada satu peraturan lain yang lebih baik dari peraturan al-Quran. Maka sudah semeskinya kita yakin bahwa kasih sayang dan perdamain dalam hal apapun menjadi hal mutlak yang harus tertanam dalam setiap insan.
Dalam ayat al-Quran yang lain, Allah berfirman “Janganlah kamu ikuti langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang permusuhannya nyata bagimu”, karena setan selalu menggoda manusia, baik yang durhaka apalagi yang taat. Menurut Quraish Shihab, kata Khuthuwat asy-syaithan mengandung isyarat bahwa setan dalam menjerumuskan manusia menempuh jalan bertahap, langkah demi langkah, menyebabkan yang dirayu tidak sadar bahwa dirinya telah terjerumus ke jurang kebinasaan. Tidak terkecuali melalui tindakan radikalisme adalah merupakan langkah-langkah setan.
Dari beberapa penafsiran dan pandangan akan ayat di atas jelas bahwa Islam sebagai agama mayoritas (jika di Indonesia) sangat cocok disatukan dengan maksud agama dan perdamaian. Ketika ayat-ayat radikal hakikatnya tidak samasaekali benar, maka perdamaianlah yang sejatinya tertuang di dalam wahyu Allah. Sangat cocok ketika kemudian dikondisikan di Indonesia sebagai negeri pluralitas. Betapa kedamaian dan perdamaian sudah seharusnya menjadi simbol kehidupan masyarakat Indonesia dengan segala keberagamannya.
Penutup
Radikalisme dalam Islam yang didasari ayat-ayat al-Quran yang terkesan dilegalkan sejatinya hanyalah timbul dari pemahaman yang didapat secara singkat dan statis, tanpa memahami ayat secara komprehensif melalui sisi historisitasnya. Sungguh ayat-ayat yang terkesan kekerasan sejatinya bukanlah ayat-ayat kekerasan sebagaimana justifikasi kelompok radikal, sehingga kita bebas melakukan kekerasan dan intimidasi kepada siapapun yang berbeda keyakinan. Kekerasan atas nama agama sungguh telah keluar dari al-Quran dan agama itu sendiri. Karena sejatinya Islam dan al-Quran adalah ajaran dan wahyu perdamaian.
Penafsiran yang dangkal  jelas sangat mengganggu kesetabilitasan Indonesia sebagai negeri multikultural, yang di dalamnya banyak keyakinan, agama, faham, suku dan ras. Olehnya, penafsiran ayat-ayat kekerasan meski dikaji ulang dari sisi historisnya dan menimbang kontekstualisasinya. Sungguh sejatinya al-Quran tidak sedikitpun membolehkan dan melegalkan aksi-aksi radikalisme atas nama agama. Al-Quran sebagai wahyu yang diturunkan kepada Muhammad, Nabi rahmat lil ‘alamin, adalah wahyu perdamaian dan mengajarkan kasih sayang kepada siapa saja. Al-Quran sudah semeskinya menjadi pemersatu keberagaman keyakinan (khususnya di Indonesia), agar cita-cita sebagai wahyu dan penyejuk dapat tercapai untuk Indonesia damai.

Contac: 08977854425

Resensi Buku: Khilafah HTI dalam Timbangan

Resensi Buku:

Menyorot Khilafah Hizbut Tahrir Sampai Akar-Akarnya

Judul Buku : Khilafah HTI dalam Timbangan
Pengarang : Ainur Rofiq Al-Amin
Penerbit   : Pustaka Harakatuna
Tahun Terbit : 2017
Halaman : 320 Halaman
Ganre : Pemikiran Islam
ISBN : 978-602-61885-1-9
Peresensi : Lufaefi

Jargon khilafah yang diusung Hizbut Tahrir (HT/HTI) di berbagai belahan dunia menjadi isu sentral yang sudah, sedang dan akan terus dihadapi dengan banyak memeras keringat. Kepemimpinan dengan maksud menerapkan aturan Islam untuk seluruh dunia menjadi pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Khusus di Indonesia – jargon khilafah ini – merebak ketika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) semakin gencar mengkampanyekan ide khilafahnya di berbagai belahan daerah Indonesia pada dasawarsa 2004-2017.

Secara tersirat, latar belakang di ataslah yang menjadikan buku Khilafah HTI dalam Timbangan tersebut lahir. Buku yang merupakan hasil disertasi seorang doktor UIN Sunan Ampel ini dibuat dengan begitu kuat menggunakan referensi dari ulama klasik dan modern serta literatur HT/HTI langsung, sehingga karya ini patut dijadikan sebagai bahan bacaan bagi siapa saja yang ingin mengetahui seperti apa Hizbut Tahrir (HT/HTI) secara akurat dan mengetahui bagaimana implikasi atas ide khilafahnya. Dalam buku karangan Ainur Rofiq ini seluk-beluk dan gerakan kelompok yang mencita-citakan Negara Islam tersebut disorot sedemikian dalam sampai ke akar-akarnya. Dengan penulisanya sebagai mantan HTI, setiap kalimat yang dicatatkan dalam buku terbitan Pustaka Harakatuna tersebut tergambar jelas bagaimana Hizbut Tahrir yang sebenarnya, bagaimana tentang jargon khilafahnya, dan bagaimana kita harus menyikapi ideologi transnasional tersebut.
HT/HTI Lahir Sebab Kemunculan Israel
 
Sebagaimana masyhurnya bahwa HT lahir sebab berkeinginan mendirikan khilafah. Dan itulah yang ditemukan selama ini perihal HT di berbagai negara, seperti di Suria, Yordania, Palestin dan negara lainnya. Akan tetapi Ainur dalam bukunya mengkritik tegas bahwa awal mula kelahiran HT di Palestina bukan sebab khilafah yang telah tumbang, tetapi karena Israel telah berdiri yang diketahui akan menjajah Palestina pada tahun 1948. Alasannya bahwa hancurnya khilafah ialah pada tahun 1924, dan HT lahir pada tahun 1953. Dari tahun-tahun tersebut didapati bahwa HT lahir mendekati tahun Penjajahan Palestina, bukan tahun ketika khilafah tumbang. Padahal pada tahun 1932 Syaikh Taqi Al-Din An-Nabhani (pendiri HT) telah memperoleh gelar doktor dari Al-Azhar, yang semeskinya dengan kepiawaian dan keilmuannya – jika HT lahir sebab khilafah – HT lahir mendekati waktu tumbangnya khilafah, bukan penjajahan Palestina. Maksudnya bahwa Syaikh Taqi Al-Din An-Nabhani mendirikan HT untuk menentang penjajahan yang dilakukan oleh Palestina, dan berdirinya HT bukan sebagai jalur untuk kembali mendirikan khilafah.

Analisis-Kritis dan Bombastis

Buku ini sangat bagus untuk dikonsumsi. Dengan pengaragnya sebagai mantan HTI, seluk beluk HT dari mulai metode yang dilakukan oleh Hizbiyyin (sebutan anggota aktif HT) dalam usaha mengembalikan khilafah hingga struktur negara Islam versi HT, semua dikemas dengan sangat lengkap dan komprehensif. Bukan hanya itu, di setiap akhir pembahasan sub bab Ainur juga memberi analisa dan kritik yang sangat menohok terhadap gerakan HT/HTI tersebut. Seperti misalnya tentang khalifah dan ketaatan, Ainur menjelaskan dengan sangat rinci perihal hak dan kewajiban antar seorang khalifah dan umatnya. Di akhir pembahasan tentang sub bab tersebut Ainur memberi penjelasan bahwa seorang khalifah harus ditaati oleh umatnya, walau telah berbuat maksiat di depan publik. Segala apa saja perintah khalifah meski dituruti, tanpa terkecuali. Di sinilah sikap otoriter seorang pemimpin berkemungkinan besar akan selalu muncul. Kebal kritik yang dimiliki seorang khalifah dalam Negara Islam versi HT/HTI akan melemahnya kepercayaan dan bahkan ketaatan umat kepada khalifahnya sendiri.
Begitulah metode penulisan di dalam buku seorang Mantan HTI tersebut. Dengan pengalaman langsung dan merasakan langsung hidup dalam nanungan HTI, ia berhasil mengurai benang kusut khilafah HT/HTI dalam setiap bab dan sub bab buku tersebut. Kritik bombastis dengan bahasa yang santun juga menjadi ciri bagi model analisa Ainur dalam buku tentang khilafahnya.

Landasan Ideologis Khilafah

Dalam buku karangan Mantan HTI tersebut juga dipaparkan dengan gamblang landasan keyakinan HTI untuk menegakkan kembali khilafah di muka bumi ini. Ada tiga landasan yang diyakini HT dalam semangat berkhilafahnya. Pertama, landasan filosofis. Menurut HT, Islam adalah agama sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Semua umat mengakui bahwa Islam adalah agama kamil dan shamil, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menjadikan Islam sebagai aturan hidup. Kesempurnaan aturan Islam akan bisa diterapkan – menurut keyakinan HT/HTI –  hanya dengan khilafah. Meskipun menurut Ainur pernyataan demikian terlalu gegabah, sebab Islam dengan khilafah tidaklah sama. Islam bisa menjadi kaffah tanpa harus dengan khilafah. Islam adalah agama luhur, sementara khilafah hanyalah satu model politik belaka. Kedua, landasan normatif. Landasan ini berdasarkan al-Quran, al-Hadits dan ijma’ sahabat. Menurut HT, ketiganya telah banyak melegalkan perintah menjadikan Islam sebagai aturan seluruh sendi kehidupan. Akan tetapi bagi Ainur, pernyataan tersebut terlalu jumping conlusion. Al-Quran dan al-Hadits serta ijma’ sahabat sudah pasti memerintahkan kita menjadikan Islam sebagai aturan hidup, akan tetapi tidak ada sedikitpun perintah mendirikan khilafah. Aturan Islam bisa terealisasikan tanpa harus berkhilafah. Dan ketiga, landasan historis. Menurut HT/HTI, sejak zaman Nabi sampai tumbangnya khalifah Utsmani, yang menjadi sistem pemerintahan dan kehidupan adalah khilafah islamiyah untuk seluruh dunia. Sehingga kejayaan dan kesempurnaan umat pun mampu untuk dijunjung dan inilah yang harus diteruskan pada saat ini. Dalam masalah ini Ainur juga membongkar keteledoran berfikir tersebut. Sebab menurut Ainur, dalam lintasan sejarah, sistem khilafah tidak selalu satu. Dari zaman Nabi hingga Khalifah Utsmani juga sering terputusnya model kepemimpinan; tidak langgeng, dan tidak semua kepemimpinan dari Nabi hingga Khalifah Utsmani menggunakan nama khilafah.

NKRI Harga Mati, Khilafah Mati Harga

Buku yang lahir dari rahim akademis ini pada akhirnya menuntun pembacanya untuk menengok kembali hakikat khilafah dengan NKRI. Apa yang diperjuangkan HT (khususnya HTI jika di Indonesia) menggantikan NKRI dengan khilafah adalah sebuah kelakuan yang sangat mengganggu kehidupan bernegara dan berbangsa. Kelakuan tersebut bahkan menghianati kesepakatan para pendiri negara. Ainur Rofiq dalam bab terakhir bukunya memaparkan, “Eksas HTI pada akhirnya sangat merugikan dan sekaligus mengingkari cita-cita founding-father negara Indonesia yang mendasari pada kebhinekaan dan kearifan budaya masyarakat”. Ideologi usang khilafah sungguh tidak pantas dan tidak ada tempatnya di NKRI ini. Apa yang harus dilaksanakan oleh anak bangsa sekarang adalah mengisi kemerdekaan NKRI dengan memperbaiki kekurang sempurnaan, bukan bermimpi berkhilafah, karena hal itu hanyalah fiktif yang tidak berlandaskan pada pemikiran yang matang.
Karya lulusan doktor UIN Sunan Ampel ini sungguh menarik untuk ditelaah dan dikaji di dunia akademisi atau masyarakat umum, meskipun dalam buku warna hijau-hitam ini tidak terlalu rinci dalam memaparkan tentang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), seperti jumlah anggota HTI di pengurus pusat, wilayah, dan daerah. Di dalamnya juga tidak nampak penjelasan apa yang meski dilakukan oleh pemerintah dan organisasi masyarakat Islam selain HT dalam merangkul kembali para anggota dan aktivis HTI (setelah HTI resmi dibubarkan di Indonesia) untuk tetap berdakwah tetapi dalam bingkai NKRI.

Buku ini cukup komprehensif untuk dijadikan rujukan dalam mengenal dan mengetahui seluk beluk gerakan HT/HTI. Yang paling penting adalah sebagai media bacaan bagi siapa pun yang masih mencintai bangsa dan negara Indonesia untuk sadar bahwa NKRI ialah sudah harga mati, sedangkan khilafah telah mati harga sebab tidak relevannya konsep tersebut dengan sosio-kultural bangsa ini. Dengan pengarangnya sebagai Mantan dan aktivis HTI, buku ini tidak diragukan lagi sebagai pedoman kehidupan di NKRI dalam menolak ideologi transnasional pengusung khilafah yang akan merugikan bangsa dan negara.

Cc. Pustaka Harakatuna.