Sabtu, 11 Maret 2017
Kritik Atas Wacana Syariatisasi HTI: Meneguhkan Pancasila Sebagai Ideologi Islam Kontemporer di Indonesia
Lufaefi,
instansi: STFI Sadra Jakarta
Email: eepivanosky@gmail.com
Hp. 08977854425
Pasca reformasi tahun 1998,
masyarakat Indonesia menemukan momentumnya dalam kebebasan mengaktualisasikan
faham, keyakinan, dan kepercayaannya. Salahsatu keyakinan yang mencuat di era tersebut – yang berlarut hingga kini – adalah
masalah ideologi bangsa. Tidak sedikit dari sekelompok politik Islam, seperti MMI (Majlis Mujahidin Indonesia),
KPPSI (Komite Pemberlakuan Peraturan Syariat Islam) dan HTI (Hizbut Tahrir
Indonesia), yang bersuara dengan lantang menuntut
untuk ditegakkannya syariat Islam (khilafah islamiyah) di negeri ini sebagai
ganti dari ideologi Pancasila yang dianggapnya telah keluar dari Islam. Tulisan
ini sebagai kritik atas wacana tersebut di atas, namun memfokuskan kritik
kepada salahsatu dari tiga kelompok di atas, dalam hal ini yaitu HTI, akan
wacana syariat Islam yang ingin ditegakkan oleh kelompok tersebut di Indonesia.
Kemudian selanjutnya (tulisan ini) mengajukan dan meneguhkan Pancasila sebagai
ideologi bangsa yang tidak sedikit pun keluar dari Islam, dan bahkan keberadaannya
sebagai “Ideologi Islam kontemporer” yang sangat cocok untuk masa kini, bahkan
sampai kapanpun.
Kata Kunci: HTI, Syariatisasi, Pancasila.
Pendahuluan
Indonesia sebagai
bangsa yang majemuk telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan
negara. Keberagaman yang ada di dalamnya, baik itu agama, ras, suku, budaya,golongan dan
sebagainya, membuat Founding Father negara ini, yaitu Soekarno,
memfinalkan Pancasila sebagai sistem keberlangsungan hidup di negara yang ditakdirkan sebagai negara
pluralitas ini.
Pada tanggal 1
Juni 1945[1],
dalam pidatonya di depan masyarakat
Indonesia, Bung Karno menyampaikan keinginannya untuk bebas dan merdeka dari rongrongan penjajah. Saat itu satu hal yang
diinginkan oleh bapak proklamator itu bahwa, sebelum mempersiapkan kemerdekaan
yang merupakan cita-cita bangsa pada masa itu,
adalah bagaimana mencari dan menjadikan satu ideologi yang sekiranya mampu
menyatukan dan memayungi seluruh keberagaman masyarakat Indonesia setelah merdeka nanti. Tentu saja hal tersebut mengingat bahwa
kemerdekaan Indonesia harus diperjuangkan dan nantinya dinikmati oleh setiap agama, ras, suku, golongan
dan keberagaman lainnya yang ada di Indonesia, bukan hanya dirasakan oleh satu
kelompok saja.
Secara
sosiologis-psikologis, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mayoritas
beragama Islam. Di samping itu juga ada beberapa agama
lain yang dianut oleh masyarakatnya. Permasalahan agama inilah yang menjadi
krusial dalam kaitannya dengan ideologi bangsa yang akan didedikasikan Bung Karno.
Apakah dasar atau ideologi bangsa harus Islam secara legal-formal dengan merujuk pada mayoritas, atau tidak harus berafiliasi Islam secara total namun
nilai-nilainya tetap islami, mengingat bukan hanya Islam agama yang ada di Indonesia.
Pada akhirnya, melihat bahwa pada saat merebut kemerdekaan bangsa
bukan saja diperjuangkan oleh orang
Islam, namun juga orang yang beragama lain, maka
dasar negara yang diajukan oleh Bang Karno saat rapat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) adalah Pancasila[2],
bukan Islam. Tentu saja, hal ini mempertimbangkan
jika negara didasarkan dengan ideologi Islam, maka sama saja menafikan
eksistensi agama lain yang telah bersama berjuang memerdekakan bangsa. Padahal itu dinamakan dengan ahlu al-kitab, yang dalam Islam juga
harus dihormati. Di samping juga
alasan keberagaman-keberagaman lain yang ada
dalam negara.
Kesimpulannya bahwa ideologi yang Bung Karno dan Badan Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) ajukan dan finalkan untuk bangsa dan negara bukanlah
ideologi Islam secara nomenklaturnya, yaitu Pancasila.
Disetujuinya
ideologi Negara (Pancasila) tidak dengan menggunakan
ideologi Islam, bukan berarti Indonesia menganut ideologi sekuler atau
keluar dari Islam. Hal ini mengingat bahwa, secara global, nilai-nilai Pancasila sendiri tidak
sama sekali keluar dari Islam, yaitu ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan.[3]
Semuanya itu merupakan nilai luhur yang secara brilian telah digagas oleh para
pendiri bangsa, yang kita yakin bahwa nilai-nilai tersebut tidaklah bertolak
belakang dengan nilai-nilai agama Islam. Di samping itu juga, pembentukan
ideologi Pancasila bukan saja hanya otoritas kaum nasionalis pada saat
persiapan kemerdekaan, tetapi juga atas persetujuan dari golongan Islam,
seperti KH Wahid Hasyim (NU) dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah.).[4]
Sehingga terlalu tidak berdasar mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi
sekuler, yang kering akan nilai-nilai keislaman.
Namun akhir-akhir ini Pancasila, sebagai ideologi bangsa Indonesia, banyak ditinggalkan oleh anak bangsa. Semangat ber-pancasila banyak
dikesampingkan, terutama sejak setelah reformasi tahun 1998.[5]
Demokrasi yang menjadi wajah baru yang lahir atas reaksi orde baru, di satu
sisi menjadi angin segar bagi bangsa untuk lebih berkreasi dan bebas dari
tekanan yang menyakitkan, dalam hal ini oleh rezim orde baru, namun di sisi
lain menimbulkan gejolak politik yang tidak bisa terbendung. Terutama mekarnya politik Islam yang dengan lantang ingin mengartikulasikan syariat Islam
secara total sebagai ideologi bangsa, menggantikan Pancasila.[6] Paham-paham
bermunculan secara masif pasca reformasi terjadi, serasa tak bisa terbendungi,
dan menjadi momentum paling ditunggu politik Islam yang sebelumnya banyak dari mereka
yang dijejal dan dibungkam oleh kekuasaan rezim orde baru tersebut.
Dampak atas reformasi yang terjadi di atas banyak menimbulkan masalah yang pelik, salahsatunya
berkaitan dengan ideologi Pancasila. Karena kebebasan reformasi itu,
Ideologi bangsa ini menjadi tersudutkan, bahkan hingga sekarang, ideologi Pancasila
menjadi ideologi yang sedikit demi sedikit kurang laku, yakni karena banyak dijustifikasi
sebagai ideologi yang bukan islami, dan ideologi yang tidak banyak dipandang
oleh masyarakat Indonesia karena non-agama. Selain karena mindset yang
mengatakan bahwa Pancasila keluar dari Islam, juga angan yang mendasari
masyarakat bahwa Pancasila merupakan ideologi rezim orde baru yang sangat
totalitarianisme[7]
yang sudah tidak patut lagi untuk diteruskan oleh anak bangsa masa pasca
reformasi. Sehingga dari sini disimpulkan
bahwa mengikuti
ideologi Pancasila sama saja mengikuti ideologi rezim orde baru yang menurutnya
tidak ada keadilan dan sangat sah untuk ditinggalkan.
Kini
nilai-nilai Pancasila mengalami kelemahan dan terus digerus oleh zaman, baik
dalam tata-kelolah pemerintah ataupun sosial masyarakat sendiri. Padahal
Pancasila merupakan ruh bangsa yang sangat cocok dalam melerai setiap
permasalahan bangsa ini, dengan melihat kepada nilai-nilainya yang mampu
memayungi segala perbedaan, meghormati keyakinan, kepercayaan, agama-agama lain
dan sebagainya[8].
Kesadaran akan pluralitas anak-anak bangsa semakin meluntur. Maraknya wacana
bahwa Pancasila bukanlah ideologi Islam terus menggelora seantero jagat,
doktrin-doktrin yang menyerang anak bangsa perihal kemusyrikan ideologi
tersebut tak bisa dibendung, sehingga Ke-bhineka Tunggal Ika-an dan Pancasila
akhirnya hanya menjadi dasar yang dianggap semu dan formalitas belaka, namun
tidak diyakini apalagi diamalkan.[9] Wajar
saja jika kemudian ketegangan satu kelompok dan kelompok lainnya sering
terdengar sebab menuhankan egoisme diri dan sekterianisme. Hal itu terjadi akibat menolak mentah-mentah Pancasila yang sejatinya bisa membendung
permasalahan tersebut, menghargai perbedaan, dan sungguh tidak keluar dari
Islam.
Wacana Syariat Islam Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI)
Kegundahan
yang dirasakan anak bangsa perihal anggapan dan klaim kesemuan dan
ketidakislaman ideologi negara banyak direspon oleh kelompok-kelompok politik
Islam, sebagaimana disebutkan di atas menurut Mahfudz MD salahsatunya adalah
HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), selain juga MMI dan KKSPI di Sumatra Selatan.
Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) merupakan satu kelompok politik Islam yang sangat
lantang dalam menyuarakan keyakinannya, yaitu syariatisasi negara Indonesia
secara total (kaaffah). Kelompok yang diprakarsai oleh Taqiyuddin
An-Nabhani pada tahun 1953 di al-Quds (baitul Maqdish) yang kemudian melebar ke
Indonesia ini menitikberatkan perjuangannya untuk membangkitkan umat Islam
seluruh dunia dalam tegaknya Islam melalui syariatisasi ideologi negara, termasuk
di Indonesia. Hizbut Tahrir (HTI jika di
Indonesia) merasa
tergugah ketika umat Islam dan
Islam itu sendiri berada dalam keterpurukan sebab berada dalam dominasi barat.[10] Di Indonesia,
mereka mengklaim bahwa sistem demokrasi dan ideologi Pancasila adalah sistem dan ideologi yang keluar dari
Islam serta sekuler.
Inilah salahsatu pemahaman yang banyak dikonsumsi anak bangsa, sehingga mereka
enggan untuk mengikuti ideologi Pancasila, yang padahal merupakan warisan leluhur
pejuang bangsa kita yang sudah teruji kehebatannya.
Organisasi yang meretas di Indonesia pada
tahun 1980 di Bogor ini sangat yakin
bahwa ideologi yang
bertumpu pada syariat islamlah yang akan
mampu membawa Indonesia dalam kejayaan. Dengan sistem yang
seluruhnya datang dari Allah, Indonesia akan terbebas dari ancaman-ancaman
barat yang terus merajalela[11], seperti timbulnya korupsi, nepotisme, dan
permasalahan lain yang banyak dihadapi oleh negara. Hal ini mengingat bahwa menurutnya, ideologi
yang selama ini dianut Indonesia sangat bertentangan dengan Islam, sistem
tersebut adalah ideologi thagut, sehingga wajar saja jika Indonesia selalu dikubung masalah ketatanegaraan
dan kebangsaan, yang bahkan akan terus berlarut.
Mereka
mengklaim bahwa hanya ideologi islamlah (khilafah Islamiyah) yang ada di dalam
al-Quran dan yang wajib diikuti, salahsatunya pada surat al-Baqarah [2]: 30[12],
dan juga pada surat-surat lain. HTI berkeyakinan bahwa negara dan agama adalah satu,
sehingga mau tidak mau keberadaan negara harus totalitas Islam dengan
menitikberatkan pada mayoritas penduduknya
(jika di Indonesia). Surat al-Baqarah tersebut di atas
selalu dijadikan senjata pamungkas oleh HTI akan wajibnya sistem Islam atau
syariat Islam melalui khilafah Islamiyah. Hal tersebut terekam dalam Tafsir
al-Wa’ie karya Rakhmat Labib (DPP HTI) [13].
Meskipun mufassir lainnya, baik dari kalangan mufassir klasik seperti Musthafa
al-Maraghi, Al-Sya’rawi dan At-Thabari, atau Kontemporer seperti Quraisy Shihab
dan Sayyid Qhuttub[14],
tidak sama sekali menyimpulan ayat tersebut sebagai dalil akan wajibnya
penerapan khilafah Islamiyah dan syariat Islam.
Selain
dengan alasan bahwa hanya ideologi syariat Islam yang berdasarkan ayat al-Quran
di atas, HTI mendasari keyakinannya bahwa ideologi Islam, dari sisi historis,
telah membawa umat Islam pada masa kejayaan.[15]
Sehingga patut untuk ditiru di Indonesia, agar Indonesia selain sesuai dengan
al-Quran, juga meneladani masa kekhalifahan yang telah menjayakan umat dan akan
terbebas dari belenggu-belenggu sekuler. Meskipun ideologi Islam pada masa
khalifah Utsmaniyah juga runtuh, yang sampai sekarang tak mampu untuk bangun
kembali. Namun hal ini diklaim bukan sebab ideologinya yang salah sehingga
khalifah runtuh, tetapi sebab individu orangnya, dalam ini ialah Kemal
Attharukh yang menggulingkan.
Di
sini menurut penulis ada kecacatan logika, ketika masa khalifah setelah
Rasulullah (yang dianggapnya masa kekhalifahan dengan menerapkan ideologi
Islam) ada kejanggalan, sehingga bubar oleh Mustafa Kamal Atharruk yang telah menjatuhkan
pemerintahan Sultan Abdul Hamid II pada masa khalifah Utsmaniyah di Turki pada
tanggal 3 Maret 1924, mereka menganggap sistem Islam tidak salah, tetapi yang
salah adalah Atharrukh dengan ketidakadila dan kecongkakakannya.[16]
Namun ketika Indonesia terjangkit masalah kenegaraan, HTI dengan gegabah bahwa
yang salah bukan orang-orang di dalamnya, tetapi sistemnya, yaitu sistem
demokrasi dengan ideologi Pancasila, yang menurutnya tidak islami.
HTI hingga saat ini terus berusaha menekan pemerintah untuk
menerapkan ideologi syariat
Islam secara total, karena itu yang sejalan dengan ideologial-Quran dan
Rasulullah, dengan memutuskan perkara menggunakan
al-Quran dan al-Hadits[17]
tanpa secuilpun melenceng darinya. Harus total. Berbeda dengan ideologi Pancasila yang
merupakan buatan manusia. Ideologi
seperti HTI ini, menurut Ahmad Ali, persis seperti Khawarij, yang berhaluan “la
hukma illa Alah; tidak ada hukum selain hukum Allah”.[18] Ideologi
yang tanpa peduli kontekstual tersebut tidak berbeda jauh dengan kelompok politik
klasik yang berhaluan kiri yang memandang bahwa hukum yang final adalah hukum
Allah. Meskipun makna hukum Allah yang diajukan HTI juga masih dalam
perdebatan.[19]
Ulil
Abshar Abdalla berpandangan bahwa HTI kurang cermat. Mereka mengatakan bahwa
seluruh syariat Islam adalah datang dari Allah sehingga harus dijadikan
ideologi dan hukum negara. Padahal kenyataannya, ada syariat Islam yang merupakan
kreasi ulama (manusia) yang telah dikontekstualisasikan dengan tempat di mana
syariat itu diterapkan.[20]
Seperti contoh ketika perbuatan zina yang dalam syariat Islam meski dihadirkan
empat saksi. Pertanyaannya, bagaimana HTI dengan syariat ini menerapkan hukum
yang benar-benar bahwa untuk mengetahui perzinaan empat orang saksi laki-laki harus
melihat perzinaan itu (ilajul hasyafah fi al-farji) secara langsung.
Tentu ini sangat tidak mungkin. Oleh sebab itu ulama banyak
mengkontekstualisasikan hukum seperti demikian dengan kondisi dan kemaslahatan
bersama sesuai sosialnya. Yang berarti itu bukan hukum langsung dari Allah,
tetapi sudah ada campur tangan manusia (ulama). Sehingga sangat terburu-buru
mengatakan bahwa semua syariat Islam seluruhnya dari Allah. Tetapi karena zaman
dan kondisi terus mengalami perubahan, maka syariat pun akan harmonis dan
kontekstualis dengan keduanya.
Dalam masalah syariat Islam, Said Aqil Siroj mengatakan bahwa,
ideoli syariat Islam dengan melegal-formalkan Islam dalam suatu negara
hanyalah formalitas syi’ar yang kualifikasinya diakhirkan. Namun yang
terpenting adalah perilaku dan moralitas manusia di dalamnya yang harus baik
dan mulia. Hal tersebutlah yang akan menghantarkan kepada Islam yang sejati.
Beliau mendasari argumentasinya dengan ayat yang berbunyi: wa man ahsanu
qoulan mimman-da’a ilallahi wa ‘amila shalihan, wa qola innani minal muslimin”.
Menurut ketua PBNU ini, justru jika skala prioritas formalitas Islam sebagai ranking
pertama akan sangat berbahaya. Sebagai bukti akan munculnya orang-orang yang
menghianati agama karena melegal-formalkan simbol agama ketimbang kualifikasi
amal shalihnya, beliau mendasarinya dengan surat Al-Ma’un perihal Tuhan
memberikan warning terhadap penghianat agama, yaitu mereka yang menghardik anak
yatim, apatis terhadap kemaslahatan umum, serta orang yang secara formal shalat
tapi perilakunya bertolak-belakang.[21]
Para ahli jurispudensi (fuqahaa) memetakan maqashidushari’ah yang merupakan
basis syariat Islam pada lima prinsip utama yang bersifat universal, yaitu:
Hifdzu ad-din (jaminan bebes beragama), hifdzu an-nafs (jaminan atas
nyawa), hifdzu ‘aql (jaminan berekspresi), hifdzu al-‘irdh
(jaminan atas propesi) dan hifdzu mal wa an-nashl (jaminan atas masa
depan-keturunan). Menurut Kang Said, kelima prinsip syariat Islam tersebut
tidak ada satupun prinsip yang selaras dengan penegakan ideologi dan negara
Islam.[22] Padahal usaha melegal-formalkan Islam tidak lain adalah ingin mengimplementasikan
nilai-nilai universal di atas. Sehingga merupakan kecerobohan berangan dan
berwacana mendirikan negara Islam dengan ideologi syariat Islam secara total.
Pada
intinya bahwa, bagaimana pun, alasan apapun, HT (HTI jika di Indonesia)
menginginkan agar ideologi apa saja di seluruh dunia harus menggunakan syariat
Islam, tanpa terkecuali, tak terkecuali di Indonesia. Sedangkan ideologi
selainnya dianggap sekuler, dan jauh dari Islam, serta harus dibubarkan. Syariatisasi
negara harus diperjuangkan sampai kapan pun di negeri ini agar bebas dari
rongrongan barat yang telah menjauhkan dari Islam. Pancasila harus dibrangus
diganti dengan ideologi syariat Islam.
Pentingnya Membaca Ulang Ideologi Islam
Ideologi atau keyakinan Islam memang siapa
saja meyakininya bahwa itu merupakan hal yang penting. Tetapi yang menjadi
pertanyaan lebih penting adalah, apakah maksud atas Islam yang bergandeng
dengan kata “ideologi” tersebut adalah platform
dan simbol-simbol Islam atau nilai-nilai Islam?
Makmun
Rasyid di dalam bukunya merumuskan maksud Islam ada dua macam, yaitu Islam yang
hanya secara legal-formal dan kedua Islam yang menanamkan nilai-nilai Islam.[23]Yang
dimaksudkan dengan Islam legal-formal adalah Islam yang hanya dari sisi simbol-simbolnya
saja, tanpa mengetahui seberapa besar nilai-nilai Islam yang sejatinya ada di
dalamnya dan meski diimplementasikan. Sedangkan kedua adalah Islam yang tidak
harus menampakan secara kasat mata Islam, tetapi di dalamnya terkandung dengan
kuat nilai-nilai Islam, termasuk menghormati keberagaman dan perbedaan.
Perihal
wacana ideologi Islam, di dalam ideologi Islam itu sendiri, seorang pemimpin memiliki
kekuasaan yang mutlak setelah dibaiatnya.[24]
Ia berhak melakukan apa pun di dalam penguasaan negara, meski tidak menuntut
kemungkinan berbuat dzolim terhadap yang dipimpinnya. Sedangkan di dalam
ideologi Pancasila sendiri, masyarakat boleh berpendapat ketika kemudian
ditemukan kejanggalan. Melalui Pancasila kedaulatan dibentuk dengan
bermusyawarah (syuraa) untuk menemukan keadilan, sebagaimana itu merupakan
cita-cita Pancasila sendiri[25],
dan tentu saja Islam pun melegalkan nilai-nilai berpendapat dan berkeadilan.
Sehingga kesempatan untuk berubah menjadi negara dan bangsa yang lebih baik sangatlah besar melalui musyawarah bersama, yang tentu sejalan dengan Islam. Dan tidak merupakan kekuasaan yang hanya
berpihak pada penguasa, yang ini justru jauh dari nilai-nilai keadilan Islam
sebab keberpihakan hanya pada satu sisi.
Pancasila
sama sekali tidak keluar dari nilai-nilai Islam, dengan melihat inti setiap
silanya, yaitu ke-Tuhanan, persatuan, kemanusiaan, keadilan dan
permusyawaratan, semua merupakan nilai yang kokoh yang digenganggam sebagai
nilai-nilai Islam di dalam agama Islam. Ideologi Pancasilapun memberi
kesempatan kepada warga Indonesia yang selain Islam untuk mengartikulasikan
kepercayaannya masing-masing.[26]
Hal tersebut, lagi-lagi mengingat adanya Indonesia bukan berdiri karena satu
kelompok saja, namun beragam keyakinan dalam cita-cita kemerdekaan. Jadi, walau pun secara platform Pancasil bukan Islam, tetapi
sungguh nilai-nilai Islam Pancasila
begitu kuat. Dan inilah Islam yang sejatinya.
Oleh
sebab demikian, maksud ideologi Islam tidak serta merta dijustifikasi harus
Islam secara format atau bentuk fisiknya saja, tetapi yang terpenting adalah
nilai-nilai Islam yang ada di dalamnya. Hal ini mengingat bahwa sejatinya nilai-nilai
Islam itu lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan Islam itu sendiri.
Pancasila Sebagai Ideologi Islam Kontemporer di Indonesia
Pancasila bukanlah ideologi yang tanpa
kompromi saat awal dibuatnya, perdebatan di kanan-kiri antar pendiri bangsa
tidak bisa dielakkan.[27]
Orang Islam pada mulanya menolak sebab nilai-nilai Islam secara eksplisit tak
terlihat dalam rumusan Pancasila. Namun dalam perkembangannya mereka menerima
dan menyetujui bersama pemeluk agama lain untuk dijadikan sebagai dasar negara
yang mampu memayungi segala perbedaan. Pancasila bukan saja disetujui oleh
golongan nasionalis, tetapi juga para ulama yang tidak diragukan keilmuannya,
seperti KH Wahid Hasyim (NU) dan juga tokoh Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah)[28].
Hal ini yang kemudian menurut penulis, terlalu gegabah mengatakan bahwa
Pancasila adalah sekuler dan jauh dari Islam. Mengatakan bahwa Pancasila keluar
dari hukum Islam sama saja menafikan keislaman KH Wahid Hasyim dan Ki Bagus
Hadikusumo sebagai poros perjuangan pejuang Islam saat kemerdekaan.
Prof Hamka Al-Haq menguatkan dalam bukunya
bahwa Pancasila benar merupakan pengejewantahan dari Islam rahmatal lil
‘aalamin, yang bisa mengayomi sendi-sendi perbedaan di dalam Indonesia. [29]
yang mampu ramah, mencintai kerukunan, toleransi, keadilan, gender, dan
kesamaan di mata hukum, serta selalu cocok diterapkan kapan pun.
Sila-sila Pancasila sungguh selaras dengan
Islam dan tak sedikitpun keluar dari domain Islam itu sendiri, cocok untuk
dihadapkan dengan masa kapan saja di Indonesia.[30]
Sehingga masa modern sekarang tidak etis menyuarakan ideologi syariat Islam
yang masih belum jelas, jika adanya Pancasila, selain bisa memayungi
pluralitas, menghormati leluhur bangsa dan pejuang, juga sangat kental dengan
nilai-nilai Islam. Sehingga Pancasila patut diteguhkan sebagai Ideologi Islam
kontemporer. Berikut argumen perihal sil-sila Pancasila bahwa kelimanya sangat
selaras dengan Islam:
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila pertama ini menjadi benteng atas mereka yang gegabah ingin menerapkan
ideologi syariat Islam di Indonesia. Konsep ke-Tuhan-an Yang Maha Esa tentu
saja menjadi domain setiap manusia dalam kehidupannya, yaitu mentauhidkan
Tuhan. Penggunaan sila pertama ini pun mampu memayungi semua agama yang ada di
dalam Indonesia, mengingat bahwa kemerdekaan Indonesia bukan berasas agar
samanya agama, namun kemerdekaan adalah anugerah dari Tuhan untuk Indonesia
yang berbeda-beda keyakinan, selain juga agar tidak menimbulkan diskriminasi
pemeluk agama lain. Sila pertama ini erat sekali dengan firman Allah QS.
Al-Baqarah [2]: 163 yang artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan
Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab. Sila kedua ini menunjukkan bahwa Pancasila mengharuskan manusia satu
sama lain harus berbuat adil dan sopan santun. Jika sila pertama berkaitan
dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, maka sila kedua ini merupakan hubungan
manusia dengan manusia lainnya. Ini selaras dengan al-QS. AL-Maidah [5]: 8 yang
artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Sila ketiga ialah Persatuan Indonesia. Sila ketiga ini ingin
mengatakan kepada kita bahwa Indoesia di dalamnya erat dengan persatuan. Dan
Indonesia berdiri atas persatuan warga di dalamnya. Dalam Islam konsep
persatuan dinamakan dengan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama orang
Islam) dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Sila ketiga
ini sejalan dengan QS. Al-Hujurat [49]: 10 yang artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan. Sila ini memberi maksud bahwa Indonesia
dengan ideologi Pancasila mengedepankan musyawarah dalam menghadapi masalah
negara atau pun kelompok bahkan individu. Dengan bermuasyawarah maka akan mudah
dala menemukan solusi permasalahan. Hal ini sangat tepat dengan al-Quran QS.
Al-Maidah [3]: 159 yang artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Sila terakhir, kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ata sila ini Pancasila menekankan masyarakat untuk menegakan keadilan di
manapun dalam jalur hukum. Siapapun harus diberi keadilan, walau berbeda agama,
ras, suku, dan sebagainya. Hal ini cocok sekali dengan Islam yang mewajibkan
umatnya untuk menjadi diri yang adil kepada orang lain atau diri sendiri.
Al-Quran melegalkan keadilan dalam QS. An-Nahl [16]: 90 yang artinya: Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Kesimpulan
Wacana
HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) menegakkan ideologi syariat Islam di Indonesia sangat
tidak tepat. Terlalu terburu-buru mengatakan bahwa semua syariat Islam datang
dari Allah (sehingga paling pantas diterapkan sebagai ideologi Negara), sebab
ada beberapa syariat yang memang sudah dikreasikan oleh para ulama dengan
mengkontekstualisasikan pada zaman dan tempatnya. Hal ini mengingat juga sebab
Islam bukanlah agama yang jumud, mati, dan tidak mau berkembang. Sehingga Islam
selalu menemukan momentumnya ketika dihadapkan dengan tempat yang baru,
salahsatunya adalah ideologi Islam dengan Pancasila yang diterapkan di
Indonesia. Klaim bahwa masa khalifah dengan ideologi Islam telah jaya sehingga
perlu diteruskan sekarang, adalah kecerobohan yang nyata. Sebab kejayaannya itu
karena individu masyarakatnya, bukan ideologinya. Jika sistemnya, pastilah
sampai sekarang ideologi Islam masih berjalan dan tidaklah hancur. Kemudian, sejatinya
wacana syariatisasi Islam HTI di Negara sama sekali tidak singkron dengan lima prinsip universal syariat Islam, yaitu Hifdzu ad-din (jaminan bebes beragama), hifdzu an-nafs
(jaminan atas nyawa), hifdzu ‘aql (jaminan berekspresi), hifdzu
al-‘irdh (jaminan atas propesi) dan hifdzu mal wa an-nashl (jaminan
atas masa depan-keturunan). Kelimanya
jauh dari maksud untuk penegakan syariat Islam dalam
Negara.
Keberadaan
ideologi Pancasila tidak sama sekali keluar dari Islam, justru Pancasila sangat
selaras dengan Islam, sebagaimana tiap silanya yang selaras dengan ayat-ayat
al-Quran. Di dalamnya memberi filosofis yang sangat dalam yang menekankan
manusia untuk menjalin hubungan dengan Tuhan, manusia, alam, dan juga berbuat
adil kepada siapa pun, yang kesemuanya itu merupakan nilai-nilai agama Islam. Pancasila
bisa megkontekstualisasikan diri di waktu kapan pun. Hinga adanya tidak mati
dan jumud seperti tanpa nyawa. Silanya akan terus menyatukan Indonesia dalam
bingkai persatuan Bhineka Tunggal Ika (walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu
jua), sehingga sangat pantas kita meneguhkan bahwa Indonesia berideologi Islam
kontemporer, yaitu Pancasila.
Daftar Pustaka
Abdalla, Ulil
Abshar. Menjadi Muslim Liberal,
Ciputat: Penerbit Nalar. 2005.
Ali, Ahmad. “Kritik Atas Jargonisasi Khilafah Dalam Konteks
Indonesia, dalam Jurnal Innavatio”, Vol. Xi, No. 1Juni 2012
Al-Maraghi, Mushtafa. Tafsir al-Maraghi, Beirut: Daru Ihyau
Al-turats. 2010.
Al-Sya’rawi, Muthawali. Tafsir
Al-Sya’rawi, Beirut: Mathabi Akhbar Al-Yaum. 1997.
At-Thabari, Muhammad. Majma’ul
Bayan, Jakarta: Pustaka Azam. 2011.
Fattah, Agus Salim. Pesantren Bukan Sarang
Teroris, Ciputat: Compass. 2010.
Hasan,
Zulkifili. Juli 06, 2015. “Muhamadiyah Sebagai Model Pengamalan Pancasila, http://www.muhammadiyah.or.id
Hidayat, Komaruddin. Kontroversi
Khilafah, Bandung: Mizan. 2014.
Labib, Rahmat S. Tafsir
Al-Wa’ie: Ayat-ayat Pilihan, Bogor: Al-Azhar Publishing.
2013
Mas’udi, Masdhar Farid. Syarah Konstitusi
UUD 1945 dalam Perspektif Islam , Jakarta: Alvabet. 2010.
Qhutub, Sayyid. Tafsir fi Dhilal al-Quran,
Beirut: Daar al-Syuruq. 1998.
Qomar, Mujamil. Fajar Baru Islam Indonesia,
Bandung: Mizan. 2012.
Rohman, Saifullah. “Kandungan Nilai-nilai Islam dalam
Pancasila”, dalam Jurnal Millah, Vol.
Xiii, No. 1, 2013
Ruslan, Idrus. “Membangun Harmonisasi Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara dengan Nilai Islam pada Pancasila”, dalam Jurnal TAPIs, Vol. 9, No. 2,
2003
Sb, Inda, Maret 13, 2013. “Pahlawan atau Penghianatkah Mustafa Kamal
Attarukh?”, http:// www.voa-khilafah.com
Shihab, Quraish. Tafsir al-Mishbah,Jakarta: Lentera Hati. 2006.
Siroj, Said Aqil. Islam Kebangsaan,
Jakarta: Fatma Press. 1999.
Widad, Ahmed. Agustus 14, 2013. “Ustadz Ba’asyir: Pancasila adalah Ideologi
Syirik, Haram Diamalkan”, http://m.voa-islam.com
Zuhdi, Nurdin. ‘’Kritik
Terhadap Penafsiran HTI, dalam jurnal Pemikiran Islam’’, Vol. XVII, No. 02,
2014.
[1] Saifullah
Rohman, Kandungan Nilai-nilai Islam dalam Pancasila, Jurnal Millah: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI), Vol. xiii,
No. 1, 2013, hal. 205
[2] Idrus Ruslan, Membangun Harmonisasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dengan Nilai Islam
pada Pancasila, Jurnal TAPIs: IAIN Raden Intan Lampung, Vol. 9, No.
2, 2003, hal. 5
[3] Idrus Ruslan, Membangun Harmonisasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dengan Nilai Islam
pada Pancasila, hal. 4
[4] Saifullah
Saifullah Rohman, Kandungan Nilai-nilai Islam
dalam Pancasila, Jurnal Millah: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI), hal. 207
[6] Haidar Nashir, sebagaimana dikutip Mahfudz MD mengebutkan bahwa, sampai
saat ini setidaknya ada tiga kelompok yang menginginkan syairiat Islam
ditegakkan menggantikan Pancasila, yaitu MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), HTI
(Hizbut Tahrir Indonesia) dan KPPSI (Komite Pemberlakuan Peratursn Syariat
Islam) Sulawesi Selatan, yang menggunakan peluang otonomi daerah melalui
Peraturan Daerah (PERDA) setempat. Lihat Mahfudz MD “Jiwa Syariat dalam
Konstitusi Kita” (kata pengantar) dalam Masdhar Farid Mas’udi, Syarah
Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam (Jakarta: Alvabet. 2010), hal.
Xvii.
[7] Idrus Ruslan, Membangun Harmonisasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dengan Nilai Islam
pada Pancasila, hal. 2
[9]
Ahmed Widad, Ustadz Ba’asyir: Pancasila adalah Ideologi Syirik, Haram
Diamalkan, m.voa-islam.com/new/indonesiana/2013/08/14/2657/ustadz-baasyir-pancasila-adalah-ideologi-syirik-haram-diamalkan/;,
diakses pada Selasa, 7 Februari 2017, pukul. 06.40 Wib
[10] Nurdin Zuhdi, Kritik
Terhadap Penafsiran HTI, Jurnal Pemikiran Islam: Ma’had Ali Hasyim
Yogyakarta, Vol. XVII, No. 02, 2013.
[11] Komarudin
Hidayat, Kontroversi Khilafah, (Bandung: Mizan, 2014), hal. 154
[12] وَ إِذْ قالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَليفَةً
قالُوا أَ تَجْعَلُ فيها مَنْ يُفْسِدُ فيها وَ يَسْفِكُ الدِّماءَ وَ نَحْنُ
نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قالَ إِنِّي أَعْلَمُ ما لا تَعْلَمُون
Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada Malaikat,
sesungguhnya Aku hendak menjadikan Khalifah di muka bumi, mereka berkata,
mengapa Engkau hendak menjadikan Khalifah di bumi itu orang yang membuat
kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami selalu bertasbih
dengan dan memuji Engkau serta Mensucikan? Tuhan menjawab, sesungguhna Aku
mengetahui atas apa yang kalian tidak ketahui. Menurut ketua DPP HTI itu megatakan
bahwa makna khalifah pada ayat btersebut tak lain adalah pemimpin yang
menerapkan syariat Islam di negara dan kewajiban mendirikan negara Islam, lihat
Rahmat S. Labib, Tafsir Al-Wa’ie: Ayat-ayat Pilihan, (Bogor: Al-Azhar Publishing, 2013),, hal. 75
[14] Mufassir-mufassir tersbut tidak mentafsirkan kata khalifah dalam ayat
tersebut sebagai makna wajibnya mendirikan negara bersyariat Islam di bawah
Khalifah, tetapi fokus pada penciptaan adam yang hendak diciptakan di muka
bumi, sebagai nikmat dari Allah, dan juga meski dijalankan dengan tujuan
pengagungan kepada Sang Maha Pemberi. Lihat Muthawali Al-Sya’rawi, Tafsir
Al-Sya’rawi, (Beirut: Mathabi Akhbar Al-Yaum, 1997), hal. 13, Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2006) Cet VI, hal. 141, Muhammad
At-Thabari, Majma’ul Bayan, (Jakarta: Pustaka Azam 2011), jilid 1, hal.
538, Sayyid Quthub, Tafsir fi
Dhilal al-Quran, (Beirut: Daar al-Syuruq,1988), jilid. 1,
hal. 65 dan Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Daru Ihyau
Al-turats, 2010 ), jilid. 1, hal. 78.
[15] Menurut HTI, sistem Islam telah menemukan kejayaan dengan dibuktikan
dengan beberapa keberhasilan sejak masa setelah Rasulullah, yaitu akuransi
penulisan sejarah, pelopor kesehatan, pendidikan tingkat dunia, dan negara
hukum. Lihat Rahmat S. Labib, Abad Kejayaan Islam, www.hizbut-tahrir.or.id/2011/05/06abad-kejayaan-khilafah/, diakses pada 4 Februari 2017, pukul. 07.15 wib
[16] Indra Sb, Pahlawan atau Penghianatkah
Mustafa Kamal Attarukh?, www.voa-khilafah.com/2015//13/03/
pahlawan-atau-penghianatkah-mustafa-mamal-attarukh, diakses pada 4 Februari
2017, pukul. 07.28 wib
[18] Ahmad Ali, Kritik Atas Jargonisasi Khilafah Dalam Konteks Indonesia, Jurnal Innavatio: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Vol. Xi, No. 1Juni 2012, hal. 35
[27] Zulkifli Hasan, Muhamadiyah Sebagai Model Pengamalan Pancasila,
www.muhammadiyah.or.id/id/id/news06/07/15/print/6755/ketua-mpr-zulkifli-hasan-
muhamadiyah-sebagai-model-pengamalan-pancasila, diakses pada Sabtu, 04 Feb.
2017, pkl. 07.46 Wib.
Langganan:
Postingan (Atom)