Blogger Widgets PRIVAT BAHASA ARAB BACA KITAB KUNING JAKARTA: Maret 2017
Tingkatkan totalitas menghamba dengan memaksimalkan peran Al-Qur'an dan Al-Hadits, serta peran akal dalam menggapai apa pun yang ingin kita capai dalam dunia atau pun akhirat

Sabtu, 11 Maret 2017

Assalamualaikum Wr Wb...Info menarik..Bagi Ikhwan-akhowat yang ingin memahami kaidah-kaidah Bahasa Arab (Nahwu Shorof) dan juga praktek dalam membacanya dalam kitab kosong (gundul),, dalam waktu yang singkat--kami menyediakan ''Private Bahasa Arab'' dalam waktu singkat. Kami membuka khusus untuk ikhwan akhowat yang berada disekitar JABODETABEK. Dengan biaya MURAH.... berikut penjelasaannya dalam brosur (mengenai biayanya)..

Kritik Atas Wacana Syariatisasi HTI: Meneguhkan Pancasila Sebagai Ideologi Islam Kontemporer di Indonesia

                               
Lufaefi, instansi: STFI Sadra Jakarta
Email: eepivanosky@gmail.com
 Hp. 08977854425
            Pasca reformasi tahun 1998, masyarakat Indonesia menemukan momentumnya dalam kebebasan mengaktualisasikan faham, keyakinan, dan kepercayaannya. Salahsatu keyakinan yang mencuat di era tersebut – yang berlarut hingga kini – adalah masalah ideologi bangsa. Tidak sedikit dari sekelompok politik Islam, seperti MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), KPPSI (Komite Pemberlakuan Peraturan Syariat Islam) dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), yang bersuara dengan lantang menuntut untuk ditegakkannya syariat Islam (khilafah islamiyah) di negeri ini sebagai ganti dari ideologi Pancasila yang dianggapnya telah keluar dari Islam. Tulisan ini sebagai kritik atas wacana tersebut di atas, namun memfokuskan kritik kepada salahsatu dari tiga kelompok di atas, dalam hal ini yaitu HTI, akan wacana syariat Islam yang ingin ditegakkan oleh kelompok tersebut di Indonesia. Kemudian selanjutnya (tulisan ini) mengajukan dan meneguhkan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang tidak sedikit pun keluar dari Islam, dan bahkan keberadaannya sebagai “Ideologi Islam kontemporer” yang sangat cocok untuk masa kini, bahkan sampai kapanpun.
Kata Kunci: HTI, Syariatisasi, Pancasila.
Pendahuluan
            Indonesia sebagai bangsa yang majemuk telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Keberagaman yang ada di dalamnya, baik itu agama, ras, suku, budaya,golongan dan sebagainya, membuat Founding Father negara ini, yaitu Soekarno, memfinalkan Pancasila sebagai sistem keberlangsungan hidup di negara yang ditakdirkan sebagai negara pluralitas ini.
            Pada tanggal 1 Juni 1945[1], dalam pidatonya di depan masyarakat Indonesia, Bung Karno menyampaikan keinginannya untuk bebas dan merdeka dari rongrongan penjajah. Saat itu satu hal yang diinginkan oleh bapak proklamator itu bahwa, sebelum mempersiapkan kemerdekaan yang merupakan cita-cita bangsa pada masa itu, adalah bagaimana mencari dan menjadikan satu ideologi yang sekiranya mampu menyatukan dan memayungi seluruh keberagaman masyarakat Indonesia setelah merdeka nanti. Tentu saja hal tersebut mengingat bahwa kemerdekaan Indonesia harus diperjuangkan dan nantinya dinikmati oleh setiap agama, ras, suku, golongan dan keberagaman lainnya yang ada di Indonesia, bukan hanya dirasakan oleh satu kelompok saja.
            Secara sosiologis-psikologis, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mayoritas beragama Islam. Di samping itu juga ada beberapa agama lain yang dianut oleh masyarakatnya. Permasalahan agama inilah yang menjadi krusial dalam kaitannya dengan ideologi bangsa yang akan didedikasikan Bung Karno. Apakah dasar atau ideologi bangsa harus Islam secara legal-formal dengan merujuk pada mayoritas, atau tidak harus berafiliasi Islam secara total namun nilai-nilainya tetap islami, mengingat bukan hanya Islam agama yang ada di Indonesia.
Pada akhirnya, melihat bahwa pada saat merebut kemerdekaan bangsa bukan saja diperjuangkan oleh orang Islam, namun juga orang yang beragama lain, maka dasar negara yang diajukan oleh Bang Karno saat rapat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) adalah Pancasila[2], bukan Islam. Tentu saja, hal ini mempertimbangkan jika negara didasarkan dengan ideologi Islam, maka sama saja menafikan eksistensi agama lain yang telah bersama berjuang memerdekakan bangsa. Padahal itu dinamakan dengan ahlu al-kitab, yang dalam Islam juga harus dihormati. Di samping juga alasan keberagaman-keberagaman lain yang ada dalam negara.
Kesimpulannya bahwa ideologi yang Bung Karno dan Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ajukan dan finalkan untuk bangsa dan negara bukanlah ideologi Islam secara nomenklaturnya, yaitu Pancasila.
            Disetujuinya ideologi Negara (Pancasila) tidak dengan menggunakan ideologi Islam, bukan berarti Indonesia menganut ideologi sekuler atau keluar dari Islam. Hal ini mengingat bahwa, secara global, nilai-nilai Pancasila sendiri tidak sama sekali keluar dari Islam, yaitu ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.[3] Semuanya itu merupakan nilai luhur yang secara brilian telah digagas oleh para pendiri bangsa, yang kita yakin bahwa nilai-nilai tersebut tidaklah bertolak belakang dengan nilai-nilai agama Islam. Di samping itu juga, pembentukan ideologi Pancasila bukan saja hanya otoritas kaum nasionalis pada saat persiapan kemerdekaan, tetapi juga atas persetujuan dari golongan Islam, seperti KH Wahid Hasyim (NU) dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah.).[4] Sehingga terlalu tidak berdasar mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi sekuler, yang kering akan nilai-nilai keislaman.
Namun akhir-akhir ini Pancasila, sebagai ideologi bangsa Indonesia, banyak ditinggalkan oleh anak bangsa. Semangat ber-pancasila banyak dikesampingkan, terutama sejak setelah reformasi tahun 1998.[5] Demokrasi yang menjadi wajah baru yang lahir atas reaksi orde baru, di satu sisi menjadi angin segar bagi bangsa untuk lebih berkreasi dan bebas dari tekanan yang menyakitkan, dalam hal ini oleh rezim orde baru, namun di sisi lain menimbulkan gejolak politik yang tidak bisa terbendung. Terutama mekarnya politik Islam yang dengan lantang ingin mengartikulasikan syariat Islam secara total sebagai ideologi bangsa, menggantikan Pancasila.[6] Paham-paham bermunculan secara masif pasca reformasi terjadi, serasa tak bisa terbendungi, dan menjadi momentum paling ditunggu politik Islam yang sebelumnya banyak dari mereka yang dijejal dan dibungkam oleh kekuasaan rezim orde baru tersebut.
Dampak atas reformasi yang terjadi di atas banyak  menimbulkan masalah yang pelik, salahsatunya berkaitan dengan ideologi Pancasila. Karena kebebasan reformasi itu, Ideologi bangsa ini menjadi tersudutkan, bahkan hingga sekarang, ideologi Pancasila menjadi ideologi yang sedikit demi sedikit kurang laku, yakni karena banyak dijustifikasi sebagai ideologi yang bukan islami, dan ideologi yang tidak banyak dipandang oleh masyarakat Indonesia karena non-agama. Selain karena mindset yang mengatakan bahwa Pancasila keluar dari Islam, juga angan yang mendasari masyarakat bahwa Pancasila merupakan ideologi rezim orde baru yang sangat totalitarianisme[7] yang sudah tidak patut lagi untuk diteruskan oleh anak bangsa masa pasca reformasi. Sehingga dari sini disimpulkan bahwa mengikuti ideologi Pancasila sama saja mengikuti ideologi rezim orde baru yang menurutnya tidak ada keadilan dan sangat sah untuk ditinggalkan.
            Kini nilai-nilai Pancasila mengalami kelemahan dan terus digerus oleh zaman, baik dalam tata-kelolah pemerintah ataupun sosial masyarakat sendiri. Padahal Pancasila merupakan ruh bangsa yang sangat cocok dalam melerai setiap permasalahan bangsa ini, dengan melihat kepada nilai-nilainya yang mampu memayungi segala perbedaan, meghormati keyakinan, kepercayaan, agama-agama lain dan sebagainya[8]. Kesadaran akan pluralitas anak-anak bangsa semakin meluntur. Maraknya wacana bahwa Pancasila bukanlah ideologi Islam terus menggelora seantero jagat, doktrin-doktrin yang menyerang anak bangsa perihal kemusyrikan ideologi tersebut tak bisa dibendung, sehingga Ke-bhineka Tunggal Ika-an dan Pancasila akhirnya hanya menjadi dasar yang dianggap semu dan formalitas belaka, namun tidak diyakini apalagi diamalkan.[9] Wajar saja jika kemudian ketegangan satu kelompok dan kelompok lainnya sering terdengar sebab menuhankan egoisme diri dan sekterianisme. Hal itu terjadi akibat menolak mentah-mentah Pancasila yang sejatinya bisa membendung permasalahan tersebut, menghargai perbedaan, dan sungguh tidak keluar dari Islam.
Wacana Syariat Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
            Kegundahan yang dirasakan anak bangsa perihal anggapan dan klaim kesemuan dan ketidakislaman ideologi negara banyak direspon oleh kelompok-kelompok politik Islam, sebagaimana disebutkan di atas menurut Mahfudz MD salahsatunya adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), selain juga MMI dan KKSPI di Sumatra Selatan.
            Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan satu kelompok politik Islam yang sangat lantang dalam menyuarakan keyakinannya, yaitu syariatisasi negara Indonesia secara total (kaaffah). Kelompok yang diprakarsai oleh Taqiyuddin An-Nabhani pada tahun 1953 di al-Quds (baitul Maqdish) yang kemudian melebar ke Indonesia ini menitikberatkan perjuangannya untuk membangkitkan umat Islam seluruh dunia dalam tegaknya Islam melalui syariatisasi ideologi negara, termasuk di Indonesia. Hizbut Tahrir (HTI jika di Indonesia) merasa tergugah ketika umat Islam dan Islam itu sendiri berada dalam keterpurukan sebab berada dalam dominasi barat.[10] Di Indonesia, mereka mengklaim bahwa sistem demokrasi dan ideologi Pancasila  adalah sistem dan ideologi yang keluar dari Islam serta sekuler. Inilah salahsatu pemahaman yang banyak dikonsumsi anak bangsa, sehingga mereka enggan untuk mengikuti ideologi Pancasila, yang padahal merupakan warisan leluhur pejuang bangsa kita yang sudah teruji kehebatannya.
   Organisasi yang meretas di Indonesia pada tahun 1980 di Bogor ini sangat yakin bahwa ideologi yang bertumpu pada syariat islamlah yang akan mampu membawa Indonesia dalam kejayaan. Dengan sistem yang seluruhnya datang dari Allah, Indonesia akan terbebas dari ancaman-ancaman barat yang terus merajalela[11], seperti timbulnya korupsi, nepotisme, dan permasalahan lain yang banyak dihadapi oleh negara. Hal ini mengingat bahwa menurutnya, ideologi yang selama ini dianut Indonesia sangat bertentangan dengan Islam, sistem tersebut adalah ideologi thagut, sehingga wajar saja jika Indonesia selalu dikubung masalah ketatanegaraan dan kebangsaan, yang bahkan akan terus berlarut.
            Mereka mengklaim bahwa hanya ideologi islamlah (khilafah Islamiyah) yang ada di dalam al-Quran dan yang wajib diikuti, salahsatunya pada surat al-Baqarah [2]: 30[12], dan juga pada surat-surat lain. HTI berkeyakinan bahwa negara dan agama adalah satu, sehingga mau tidak mau keberadaan negara harus totalitas Islam dengan menitikberatkan pada mayoritas penduduknya (jika di Indonesia).  Surat al-Baqarah tersebut di atas selalu dijadikan senjata pamungkas oleh HTI akan wajibnya sistem Islam atau syariat Islam melalui khilafah Islamiyah. Hal tersebut terekam dalam Tafsir al-Wa’ie karya Rakhmat Labib (DPP HTI) [13]. Meskipun mufassir lainnya, baik dari kalangan mufassir klasik seperti Musthafa al-Maraghi, Al-Sya’rawi dan At-Thabari, atau Kontemporer seperti Quraisy Shihab dan Sayyid Qhuttub[14], tidak sama sekali menyimpulan ayat tersebut sebagai dalil akan wajibnya penerapan khilafah Islamiyah dan syariat Islam.
            Selain dengan alasan bahwa hanya ideologi syariat Islam yang berdasarkan ayat al-Quran di atas, HTI mendasari keyakinannya bahwa ideologi Islam, dari sisi historis, telah membawa umat Islam pada masa kejayaan.[15] Sehingga patut untuk ditiru di Indonesia, agar Indonesia selain sesuai dengan al-Quran, juga meneladani masa kekhalifahan yang telah menjayakan umat dan akan terbebas dari belenggu-belenggu sekuler. Meskipun ideologi Islam pada masa khalifah Utsmaniyah juga runtuh, yang sampai sekarang tak mampu untuk bangun kembali. Namun hal ini diklaim bukan sebab ideologinya yang salah sehingga khalifah runtuh, tetapi sebab individu orangnya, dalam ini ialah Kemal Attharukh yang menggulingkan.
            Di sini menurut penulis ada kecacatan logika, ketika masa khalifah setelah Rasulullah (yang dianggapnya masa kekhalifahan dengan menerapkan ideologi Islam) ada kejanggalan, sehingga bubar oleh Mustafa  Kamal Atharruk yang telah menjatuhkan pemerintahan Sultan Abdul Hamid II pada masa khalifah Utsmaniyah di Turki pada tanggal 3 Maret 1924, mereka menganggap sistem Islam tidak salah, tetapi yang salah adalah Atharrukh dengan ketidakadila dan kecongkakakannya.[16] Namun ketika Indonesia terjangkit masalah kenegaraan, HTI dengan gegabah bahwa yang salah bukan orang-orang di dalamnya, tetapi sistemnya, yaitu sistem demokrasi dengan ideologi Pancasila, yang menurutnya tidak islami.
            HTI hingga saat ini terus berusaha menekan pemerintah untuk menerapkan ideologi syariat Islam secara total, karena itu yang sejalan dengan ideologial-Quran dan Rasulullah, dengan memutuskan perkara menggunakan al-Quran dan al-Hadits[17] tanpa secuilpun melenceng darinya. Harus total. Berbeda dengan ideologi Pancasila yang merupakan buatan manusia.  Ideologi seperti HTI ini, menurut Ahmad Ali, persis seperti Khawarij, yang berhaluan “la hukma illa Alah; tidak ada hukum selain hukum Allah”.[18] Ideologi yang tanpa peduli kontekstual tersebut tidak berbeda jauh dengan kelompok politik klasik yang berhaluan kiri yang memandang bahwa hukum yang final adalah hukum Allah. Meskipun makna hukum Allah yang diajukan HTI juga masih dalam perdebatan.[19]
            Ulil Abshar Abdalla berpandangan bahwa HTI kurang cermat. Mereka mengatakan bahwa seluruh syariat Islam adalah datang dari Allah sehingga harus dijadikan ideologi dan hukum negara. Padahal kenyataannya, ada syariat Islam yang merupakan kreasi ulama (manusia) yang telah dikontekstualisasikan dengan tempat di mana syariat itu diterapkan.[20] Seperti contoh ketika perbuatan zina yang dalam syariat Islam meski dihadirkan empat saksi. Pertanyaannya, bagaimana HTI dengan syariat ini menerapkan hukum yang benar-benar bahwa untuk mengetahui perzinaan empat orang saksi laki-laki harus melihat perzinaan itu (ilajul hasyafah fi al-farji) secara langsung. Tentu ini sangat tidak mungkin. Oleh sebab itu ulama banyak mengkontekstualisasikan hukum seperti demikian dengan kondisi dan kemaslahatan bersama sesuai sosialnya. Yang berarti itu bukan hukum langsung dari Allah, tetapi sudah ada campur tangan manusia (ulama). Sehingga sangat terburu-buru mengatakan bahwa semua syariat Islam seluruhnya dari Allah. Tetapi karena zaman dan kondisi terus mengalami perubahan, maka syariat pun akan harmonis dan kontekstualis dengan keduanya.
            Dalam masalah syariat Islam, Said Aqil Siroj mengatakan bahwa, ideoli syariat Islam dengan melegal-formalkan Islam dalam suatu negara hanyalah formalitas syi’ar yang kualifikasinya diakhirkan. Namun yang terpenting adalah perilaku dan moralitas manusia di dalamnya yang harus baik dan mulia. Hal tersebutlah yang akan menghantarkan kepada Islam yang sejati. Beliau mendasari argumentasinya dengan ayat yang berbunyi: wa man ahsanu qoulan mimman-da’a ilallahi wa ‘amila shalihan, wa qola innani minal muslimin”. Menurut ketua PBNU ini, justru jika skala prioritas formalitas Islam sebagai ranking pertama akan sangat berbahaya. Sebagai bukti akan munculnya orang-orang yang menghianati agama karena melegal-formalkan simbol agama ketimbang kualifikasi amal shalihnya, beliau mendasarinya dengan surat Al-Ma’un perihal Tuhan memberikan warning terhadap penghianat agama, yaitu mereka yang menghardik anak yatim, apatis terhadap kemaslahatan umum, serta orang yang secara formal shalat tapi perilakunya bertolak-belakang.[21]
Para ahli jurispudensi (fuqahaa) memetakan maqashidushari’ah yang merupakan basis syariat Islam pada lima prinsip utama yang bersifat universal, yaitu: Hifdzu ad-din (jaminan bebes beragama), hifdzu an-nafs (jaminan atas nyawa), hifdzu ‘aql (jaminan berekspresi), hifdzu al-‘irdh (jaminan atas propesi) dan hifdzu mal wa an-nashl (jaminan atas masa depan-keturunan). Menurut Kang Said, kelima prinsip syariat Islam tersebut tidak ada satupun prinsip yang selaras dengan penegakan ideologi dan negara Islam.[22] Padahal usaha melegal-formalkan Islam tidak lain adalah ingin mengimplementasikan nilai-nilai universal di atas. Sehingga merupakan kecerobohan berangan dan berwacana mendirikan negara Islam dengan ideologi syariat Islam secara total.
            Pada intinya bahwa, bagaimana pun, alasan apapun, HT (HTI jika di Indonesia) menginginkan agar ideologi apa saja di seluruh dunia harus menggunakan syariat Islam, tanpa terkecuali, tak terkecuali di Indonesia. Sedangkan ideologi selainnya dianggap sekuler, dan jauh dari Islam, serta harus dibubarkan. Syariatisasi negara harus diperjuangkan sampai kapan pun di negeri ini agar bebas dari rongrongan barat yang telah menjauhkan dari Islam. Pancasila harus dibrangus diganti dengan ideologi syariat Islam.
Pentingnya Membaca Ulang Ideologi Islam
            Ideologi atau keyakinan Islam memang siapa saja meyakininya bahwa itu merupakan hal yang penting. Tetapi yang menjadi pertanyaan lebih penting adalah, apakah maksud atas Islam yang bergandeng dengan kata “ideologi” tersebut  adalah platform dan simbol-simbol Islam atau nilai-nilai Islam?
            Makmun Rasyid di dalam bukunya merumuskan maksud Islam ada dua macam, yaitu Islam yang hanya secara legal-formal dan kedua Islam yang menanamkan nilai-nilai Islam.[23]Yang dimaksudkan dengan Islam legal-formal adalah Islam yang hanya dari sisi simbol-simbolnya saja, tanpa mengetahui seberapa besar nilai-nilai Islam yang sejatinya ada di dalamnya dan meski diimplementasikan. Sedangkan kedua adalah Islam yang tidak harus menampakan secara kasat mata Islam, tetapi di dalamnya terkandung dengan kuat nilai-nilai Islam, termasuk menghormati keberagaman dan perbedaan.
            Perihal wacana ideologi Islam, di dalam ideologi  Islam itu sendiri, seorang pemimpin memiliki kekuasaan yang mutlak setelah dibaiatnya.[24] Ia berhak melakukan apa pun di dalam penguasaan negara, meski tidak menuntut kemungkinan berbuat dzolim terhadap yang dipimpinnya. Sedangkan di dalam ideologi Pancasila sendiri, masyarakat boleh berpendapat ketika kemudian ditemukan kejanggalan. Melalui Pancasila kedaulatan dibentuk dengan bermusyawarah (syuraa) untuk menemukan keadilan, sebagaimana itu merupakan cita-cita Pancasila sendiri[25], dan tentu saja Islam pun melegalkan nilai-nilai berpendapat dan berkeadilan. Sehingga kesempatan untuk berubah menjadi negara dan bangsa yang lebih baik sangatlah besar melalui musyawarah bersama, yang tentu sejalan dengan Islam. Dan tidak merupakan kekuasaan yang hanya berpihak pada penguasa, yang ini justru jauh dari nilai-nilai keadilan Islam sebab keberpihakan hanya pada satu sisi.
            Pancasila sama sekali tidak keluar dari nilai-nilai Islam, dengan melihat inti setiap silanya, yaitu ke-Tuhanan, persatuan, kemanusiaan, keadilan dan permusyawaratan, semua merupakan nilai yang kokoh yang digenganggam sebagai nilai-nilai Islam di dalam agama Islam. Ideologi Pancasilapun memberi kesempatan kepada warga Indonesia yang selain Islam untuk mengartikulasikan kepercayaannya masing-masing.[26] Hal tersebut, lagi-lagi mengingat adanya Indonesia bukan berdiri karena satu kelompok saja, namun beragam keyakinan dalam cita-cita kemerdekaan. Jadi, walau pun secara platform Pancasil bukan Islam, tetapi sungguh nilai-nilai Islam Pancasila begitu kuat. Dan inilah Islam yang sejatinya.
            Oleh sebab demikian, maksud ideologi Islam tidak serta merta dijustifikasi harus Islam secara format atau bentuk fisiknya saja, tetapi yang terpenting adalah nilai-nilai Islam yang ada di dalamnya. Hal ini mengingat bahwa sejatinya nilai-nilai Islam itu lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan Islam itu sendiri.
Pancasila Sebagai Ideologi Islam Kontemporer di Indonesia
Pancasila bukanlah ideologi yang tanpa kompromi saat awal dibuatnya, perdebatan di kanan-kiri antar pendiri bangsa tidak bisa dielakkan.[27] Orang Islam pada mulanya menolak sebab nilai-nilai Islam secara eksplisit tak terlihat dalam rumusan Pancasila. Namun dalam perkembangannya mereka menerima dan menyetujui bersama pemeluk agama lain untuk dijadikan sebagai dasar negara yang mampu memayungi segala perbedaan. Pancasila bukan saja disetujui oleh golongan nasionalis, tetapi juga para ulama yang tidak diragukan keilmuannya, seperti KH Wahid Hasyim (NU) dan juga tokoh Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah)[28]. Hal ini yang kemudian menurut penulis, terlalu gegabah mengatakan bahwa Pancasila adalah sekuler dan jauh dari Islam. Mengatakan bahwa Pancasila keluar dari hukum Islam sama saja menafikan keislaman KH Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo sebagai poros perjuangan pejuang Islam saat kemerdekaan.
Prof Hamka Al-Haq menguatkan dalam bukunya bahwa Pancasila benar merupakan pengejewantahan dari Islam rahmatal lil ‘aalamin, yang bisa mengayomi sendi-sendi perbedaan di dalam Indonesia. [29] yang mampu ramah, mencintai kerukunan, toleransi, keadilan, gender, dan kesamaan di mata hukum, serta selalu cocok diterapkan kapan pun.
Sila-sila Pancasila sungguh selaras dengan Islam dan tak sedikitpun keluar dari domain Islam itu sendiri, cocok untuk dihadapkan dengan masa kapan saja di Indonesia.[30] Sehingga masa modern sekarang tidak etis menyuarakan ideologi syariat Islam yang masih belum jelas, jika adanya Pancasila, selain bisa memayungi pluralitas, menghormati leluhur bangsa dan pejuang, juga sangat kental dengan nilai-nilai Islam. Sehingga Pancasila patut diteguhkan sebagai Ideologi Islam kontemporer. Berikut argumen perihal sil-sila Pancasila bahwa kelimanya sangat selaras dengan Islam:
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ini menjadi benteng atas mereka yang gegabah ingin menerapkan ideologi syariat Islam di Indonesia. Konsep ke-Tuhan-an Yang Maha Esa tentu saja menjadi domain setiap manusia dalam kehidupannya, yaitu mentauhidkan Tuhan. Penggunaan sila pertama ini pun mampu memayungi semua agama yang ada di dalam Indonesia, mengingat bahwa kemerdekaan Indonesia bukan berasas agar samanya agama, namun kemerdekaan adalah anugerah dari Tuhan untuk Indonesia yang berbeda-beda keyakinan, selain juga agar tidak menimbulkan diskriminasi pemeluk agama lain. Sila pertama ini erat sekali dengan firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 163 yang artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila kedua ini menunjukkan bahwa Pancasila mengharuskan manusia satu sama lain harus berbuat adil dan sopan santun. Jika sila pertama berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, maka sila kedua ini merupakan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Ini selaras dengan al-QS. AL-Maidah [5]: 8 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Sila ketiga ialah Persatuan Indonesia. Sila ketiga ini ingin mengatakan kepada kita bahwa Indoesia di dalamnya erat dengan persatuan. Dan Indonesia berdiri atas persatuan warga di dalamnya. Dalam Islam konsep persatuan dinamakan dengan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama orang Islam) dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Sila ketiga ini sejalan dengan QS. Al-Hujurat [49]: 10 yang artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Sila ini memberi maksud bahwa Indonesia dengan ideologi Pancasila mengedepankan musyawarah dalam menghadapi masalah negara atau pun kelompok bahkan individu. Dengan bermuasyawarah maka akan mudah dala menemukan solusi permasalahan. Hal ini sangat tepat dengan al-Quran QS. Al-Maidah [3]: 159 yang artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Sila terakhir, kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ata sila ini Pancasila menekankan masyarakat untuk menegakan keadilan di manapun dalam jalur hukum. Siapapun harus diberi keadilan, walau berbeda agama, ras, suku, dan sebagainya. Hal ini cocok sekali dengan Islam yang mewajibkan umatnya untuk menjadi diri yang adil kepada orang lain atau diri sendiri. Al-Quran melegalkan keadilan dalam QS. An-Nahl [16]: 90 yang artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Kesimpulan
            Wacana HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) menegakkan ideologi syariat Islam di Indonesia sangat tidak tepat. Terlalu terburu-buru mengatakan bahwa semua syariat Islam datang dari Allah (sehingga paling pantas diterapkan sebagai ideologi Negara), sebab ada beberapa syariat yang memang sudah dikreasikan oleh para ulama dengan mengkontekstualisasikan pada zaman dan tempatnya. Hal ini mengingat juga sebab Islam bukanlah agama yang jumud, mati, dan tidak mau berkembang. Sehingga Islam selalu menemukan momentumnya ketika dihadapkan dengan tempat yang baru, salahsatunya adalah ideologi Islam dengan Pancasila yang diterapkan di Indonesia. Klaim bahwa masa khalifah dengan ideologi Islam telah jaya sehingga perlu diteruskan sekarang, adalah kecerobohan yang nyata. Sebab kejayaannya itu karena individu masyarakatnya, bukan ideologinya. Jika sistemnya, pastilah sampai sekarang ideologi Islam masih berjalan dan tidaklah hancur. Kemudian, sejatinya wacana syariatisasi Islam HTI di Negara sama sekali tidak singkron dengan lima prinsip universal syariat Islam, yaitu Hifdzu ad-din (jaminan bebes beragama), hifdzu an-nafs (jaminan atas nyawa), hifdzu ‘aql (jaminan berekspresi), hifdzu al-‘irdh (jaminan atas propesi) dan hifdzu mal wa an-nashl (jaminan atas masa depan-keturunan). Kelimanya jauh dari maksud untuk penegakan syariat Islam dalam Negara.
            Keberadaan ideologi Pancasila tidak sama sekali keluar dari Islam, justru Pancasila sangat selaras dengan Islam, sebagaimana tiap silanya yang selaras dengan ayat-ayat al-Quran. Di dalamnya memberi filosofis yang sangat dalam yang menekankan manusia untuk menjalin hubungan dengan Tuhan, manusia, alam, dan juga berbuat adil kepada siapa pun, yang kesemuanya itu merupakan nilai-nilai agama Islam. Pancasila bisa megkontekstualisasikan diri di waktu kapan pun. Hinga adanya tidak mati dan jumud seperti tanpa nyawa. Silanya akan terus menyatukan Indonesia dalam bingkai persatuan Bhineka Tunggal Ika (walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua), sehingga sangat pantas kita meneguhkan bahwa Indonesia berideologi Islam kontemporer, yaitu Pancasila.
Daftar Pustaka
Abdalla, Ulil Abshar. Menjadi Muslim Liberal, Ciputat: Penerbit Nalar. 2005.
Ali, Ahmad. Kritik Atas Jargonisasi Khilafah Dalam Konteks Indonesia, dalam Jurnal Innavatio, Vol. Xi, No. 1Juni 2012
Al-Maraghi, Mushtafa. Tafsir al-Maraghi, Beirut: Daru Ihyau Al-turats. 2010.
Al-Sya’rawi, Muthawali.  Tafsir Al-Sya’rawi, Beirut: Mathabi Akhbar Al-Yaum. 1997.
At-Thabari, Muhammad.  Majma’ul Bayan, Jakarta: Pustaka Azam. 2011.
Fattah, Agus Salim. Pesantren Bukan Sarang Teroris, Ciputat: Compass. 2010.
Hasan, Zulkifili. Juli 06, 2015. “Muhamadiyah Sebagai Model Pengamalan Pancasila, http://www.muhammadiyah.or.id
Hidayat, Komaruddin. Kontroversi Khilafah, Bandung: Mizan. 2014.
Labib, Rahmat S. Tafsir Al-Wa’ie: Ayat-ayat Pilihan, Bogor: Al-Azhar Publishing. 2013
Labib, Rahmat. Februari 04, 2013. “Abad Kejayaan Islam, http://www.hizbut-tahrir.or.id
Mas’udi, Masdhar Farid. Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam , Jakarta: Alvabet. 2010.
Qhutub, Sayyid. Tafsir fi Dhilal al-Quran, Beirut: Daar al-Syuruq. 1998.
Qomar, Mujamil. Fajar Baru Islam Indonesia, Bandung: Mizan. 2012.
Rohman, Saifullah. “Kandungan Nilai-nilai Islam dalam Pancasila”, dalam  Jurnal Millah, Vol. Xiii, No. 1, 2013
Ruslan, Idrus. “Membangun Harmonisasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dengan Nilai Islam pada Pancasila”, dalam Jurnal TAPIs, Vol. 9, No. 2, 2003
Sb, Inda, Maret 13, 2013. “Pahlawan atau Penghianatkah Mustafa Kamal Attarukh?”, http:// www.voa-khilafah.com
Shihab, Quraish. Tafsir al-Mishbah,Jakarta: Lentera  Hati. 2006.
Siroj, Said Aqil. Islam Kebangsaan, Jakarta: Fatma Press. 1999.
Widad, Ahmed. Agustus 14, 2013. “Ustadz Ba’asyir: Pancasila adalah Ideologi Syirik, Haram Diamalkan”, http://m.voa-islam.com
Zuhdi, Nurdin.   ‘’Kritik Terhadap Penafsiran HTI, dalam jurnal Pemikiran Islam’’, Vol. XVII, No. 02, 2014.




[1] Saifullah Rohman, Kandungan Nilai-nilai Islam dalam Pancasila,  Jurnal Millah: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI), Vol. xiii, No. 1, 2013, hal. 205
[2] Idrus Ruslan, Membangun Harmonisasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dengan Nilai Islam pada Pancasila, Jurnal TAPIs: IAIN Raden Intan Lampung, Vol. 9, No. 2, 2003, hal. 5
[3] Idrus Ruslan, Membangun Harmonisasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dengan Nilai Islam pada Pancasila, hal. 4
[4] Saifullah Saifullah Rohman, Kandungan Nilai-nilai Islam dalam Pancasila,  Jurnal Millah: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI), hal. 207
[5] Agus Salim Fattah, Pesantren Bukan Sarang Teroris, (Ciputat: Compass, 2010), hal. v
[6] Haidar Nashir, sebagaimana dikutip Mahfudz MD mengebutkan bahwa, sampai saat ini setidaknya ada tiga kelompok yang menginginkan syairiat Islam ditegakkan menggantikan Pancasila, yaitu MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan KPPSI (Komite Pemberlakuan Peratursn Syariat Islam) Sulawesi Selatan, yang menggunakan peluang otonomi daerah melalui Peraturan Daerah (PERDA) setempat. Lihat Mahfudz MD “Jiwa Syariat dalam Konstitusi Kita” (kata pengantar) dalam Masdhar Farid Mas’udi, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam (Jakarta: Alvabet. 2010), hal. Xvii.
[7] Idrus Ruslan, Membangun Harmonisasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dengan Nilai Islam pada Pancasila, hal. 2
[8] Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 2012), hal. 8
[9]  Ahmed Widad, Ustadz Ba’asyir: Pancasila adalah Ideologi Syirik, Haram Diamalkan, m.voa-islam.com/new/indonesiana/2013/08/14/2657/ustadz-baasyir-pancasila-adalah-ideologi-syirik-haram-diamalkan/;, diakses pada Selasa, 7 Februari 2017, pukul. 06.40 Wib
[10] Nurdin Zuhdi, Kritik Terhadap Penafsiran HTI, Jurnal Pemikiran Islam: Ma’had Ali Hasyim Yogyakarta, Vol. XVII, No. 02, 2013.
[11] Komarudin Hidayat, Kontroversi Khilafah, (Bandung: Mizan, 2014), hal. 154
[12] وَ إِذْ قالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَليفَةً قالُوا أَ تَجْعَلُ فيها مَنْ يُفْسِدُ فيها وَ يَسْفِكُ الدِّماءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قالَ إِنِّي أَعْلَمُ ما لا تَعْلَمُون
Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada Malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan Khalifah di muka bumi, mereka berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan Khalifah di bumi itu orang yang membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami selalu bertasbih dengan dan memuji Engkau serta Mensucikan? Tuhan menjawab, sesungguhna Aku mengetahui atas apa yang kalian tidak ketahui. Menurut ketua DPP HTI itu megatakan bahwa makna khalifah pada ayat btersebut tak lain adalah pemimpin yang menerapkan syariat Islam di negara dan kewajiban mendirikan negara Islam, lihat Rahmat S. Labib, Tafsir Al-Wa’ie: Ayat-ayat Pilihan, (Bogor: Al-Azhar Publishing, 2013),, hal. 75

[13] Rahmat S. Labib, Tafsir Al-Wa’ie, hal. 75
[14] Mufassir-mufassir tersbut tidak mentafsirkan kata khalifah dalam ayat tersebut sebagai makna wajibnya mendirikan negara bersyariat Islam di bawah Khalifah, tetapi fokus pada penciptaan adam yang hendak diciptakan di muka bumi, sebagai nikmat dari Allah, dan juga meski dijalankan dengan tujuan pengagungan kepada Sang Maha Pemberi. Lihat Muthawali Al-Sya’rawi, Tafsir Al-Sya’rawi, (Beirut: Mathabi Akhbar Al-Yaum, 1997), hal. 13, Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera  Hati, 2006) Cet VI, hal. 141, Muhammad At-Thabari, Majma’ul Bayan, (Jakarta: Pustaka Azam 2011), jilid 1, hal. 538, Sayyid Quthub, Tafsir fi Dhilal al-Quran, (Beirut: Daar al-Syuruq,1988), jilid. 1, hal. 65 dan Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Daru Ihyau Al-turats, 2010 ), jilid. 1, hal. 78.
[15] Menurut HTI, sistem Islam telah menemukan kejayaan dengan dibuktikan dengan beberapa keberhasilan sejak masa setelah Rasulullah, yaitu akuransi penulisan sejarah, pelopor kesehatan, pendidikan tingkat dunia, dan negara hukum. Lihat Rahmat S. Labib, Abad Kejayaan Islam, www.hizbut-tahrir.or.id/2011/05/06abad-kejayaan-khilafah/, diakses pada 4 Februari 2017, pukul. 07.15 wib
[16] Indra Sb, Pahlawan atau Penghianatkah Mustafa Kamal Attarukh?, www.voa-khilafah.com/2015//13/03/ pahlawan-atau-penghianatkah-mustafa-mamal-attarukh, diakses pada 4 Februari 2017, pukul. 07.28 wib
[17] Rokhmat S. Labib, Tafsir Ayat Pilihan Al-Wa’ie; Ayat-ayat Pilihan, hal. 421
[18] Ahmad Ali, Kritik Atas Jargonisasi Khilafah Dalam Konteks Indonesia,  Jurnal Innavatio: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. Xi, No. 1Juni 2012, hal. 35
[19] Ulil Abshar Abdala, Menjadi Muslim Liberal, (Ciputat: Penerbit Nalar, 2005), hal. 155
[20] Ulil Abshar Abdala, Menjadi Muslim Liberal, hal. 155
[21] Said Aqil Siroj, Islam Kebangsaan, (Jakarta: Fatma Press, 1999), hal. 165
[22] Said Aqil Siroj, Islam Kebangsaan, hal. 164
[23] Makmun Rasyid, HTI Gagal Paham Khilafah, (Ciputat: Pustaka Compass, 2016), hal. 8
[24] Said Aqil Siroj, Islam Kebangsaan, hal. 164
[25] Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia, hal. 7
[26] Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia, hal. 8
[27] Zulkifli Hasan, Muhamadiyah Sebagai Model Pengamalan Pancasila, www.muhammadiyah.or.id/id/id/news06/07/15/print/6755/ketua-mpr-zulkifli-hasan- muhamadiyah-sebagai-model-pengamalan-pancasila, diakses pada Sabtu, 04 Feb. 2017, pkl. 07.46 Wib.
[28] Saifullah Rohman, Kandungan Nilai-nilai Islam dalam Pancasila, hal. 207
[29] Saifullah Rohman, Kandungan Nilai-nilai Islam dalam Pancasila, hal. 208
[30] Saifullah Rohman, Kandungan Nilai-nilai Islam dalam Pancasila, hal. 208