Blogger Widgets PRIVAT BAHASA ARAB BACA KITAB KUNING JAKARTA: Tiga Tokoh Tafsir Kontemporer yang Akhir Hidupnya Tragis
Tingkatkan totalitas menghamba dengan memaksimalkan peran Al-Qur'an dan Al-Hadits, serta peran akal dalam menggapai apa pun yang ingin kita capai dalam dunia atau pun akhirat

Kamis, 17 Oktober 2019

Tiga Tokoh Tafsir Kontemporer yang Akhir Hidupnya Tragis


Oleh Lufaefi

Jika dalam pepatah dinyatakan bahwa pena lebih tajam daripada pedang, maka dalam faktanya bisa berbalik, pedang dapat menebas pena sekaligus penggunanya (penulis). Dalam sejarah pemikiran kontemporer, banyak peristiwa teagis berupa pembunuhan dan pengusiran yang disebabkan karena seseorang memiliki gagasan cemerlang-kontroversial. Gagasan-gagasan hebatnya dibalas dengan hilangnya nyawa dan atau pengusiran dari tanah Airnya.

Siapa saja beberapa pemikir kontemporer yang nasib hidupnya tragis karena gagasan-gagasan hebatnya? Seperti apa gagasan-gagasannya di tengah masyarakat sehingga berakibat pada hilangnya nyawa atau terusir dari negerinya? Yuk, baca.

Pertama, Mahmud Muhammad Thaha

Ia adalah seorang ilmuwan muslim asal Sudan. Karena kontroversi pemikirannya di tengah-tengah rezim Neimer Gaffar, Thaha dihukumi mati dengan digantung. Thaha diberikan hukuman demikian karena mengeluarkan gagasan yang berbeda dengan gagasan-gagasan pada umumnya, yaitu tentang Risalah Islam Kedua, yang kemudian menjadi sebuah buku "Risalah al-Islam Atsani".
Risalah Islam Kedua yang dimaksudkan Thaha berawal dari kritiknya terhadap pemahaman umum, yaitu bahwa ayat-ayat Madinah dapat menghapus ayat-ayat Makah. Thaha tidak setuju karena menurutnya, pemahaman itu relevan hanya di zamannya saja, yaitu pada masa Nabi dan Sahabatnya saat hijrah di Madinah. Kondisi itu sudah berbeda dengan kondisi modern sehingga tidak relevan lagi digunakan di dalam kajian kontemporer. Menurutnya, saat ini ayat-ayat Makahlah yang harus didahulukan dari pada ayat-ayat Madinah.

Mengapa ayat Makah didahulukan dari Madinah? Sebab menurutnya, ketika ayat-ayat Madinah dikatakan mengabrogasi ayat Makah, namun ada banyak yang tidak relevan lagi dengan zaman modern, bahkan masih banyak ayat-ayat Malah yang justru menghapus hukum dalam ayat Madinah.  Dalam kondisi ini, kita harus mendahulukan yang dahulu turun, yaitu ayat Makah daripada ayat Madinah. Menurutnya, ayat-ayat Makahlah yang dapat menaskh dan atau memayungi ayat-ayat Madinah. Ayat Makahlah yang lebih memiliki nilai-nilai universal, sehingga tetap relevan dengan zaman kapanpun.
Karena pendapatnya itu, Thaha divonis bersalah dengan predikat kesalahan murtad dan telah mengacaubalaukan Islam di Sudan. Thaha dianggap sebagai orang yang tidak lagi beragama yang hendak menghancurkan Islam dari dalam. Ketika di pengadilan, Thaha disuruh untuk bertaubat namun ia menolaknya. Hingga akhirnya lehernya ditebas oleh algojo rezim Neimer sebagai hukuman atas gagasannya tersebut.

Kedua, Fazlur Rahman

Ia merupakan tokoh asal Pakistan. Beliau merupakan tokoh intelektual muslim yang hidupnya diabdikan untuk ilmu. Sejak kecil hingga dewasa, Rahman tak henti-hentinya belajar ilmu keislaman. Meskipun pada akhirnya hidupnya tragis, ia diusir dari negerinya, Pakistan.
Gagasannya yang membuatnya harus meninggalkan negerinya adalah tentang pemahaman atas Alquran. Menurut Rahman, moralitas Alquran jauh lebih penting daripada tekstualnya. Sehingga seorang pembaca tak perlu hanya berfokus pada teks Alquran. Karena gagasannya itu Rahman dianggap telah melepaskan kesucian Alquran dan mementingkan akalnya. Dan karena itulah ia harus diusir dari negerinya karena dianggap telah menistakan Alquran.

Dan ketiga, Nashr Hamid Abu Zaid

Tokoh ketiga ini berasal dari Mesir. Nashr bukan dibunuh sebagaimana Thaha. Nashr diusir atau dideportasi dari Mesir karena dituduh telah mengacak-acaka agama Islam. Tidak hanya itu, Nashr dituduh murtad dan harus diceraikan dengan istrinya.

Apa gagasan Nashr hingga ia harus diusir dari Mesir? Berawal dari pengajuan gelar Guru Besarnya di Universitas Kairo, Nashr mengajukan karya dengan judul "Naqd Kitab Addiny". Gagasan dalam karya ilmiahnya itu menyatakab bahwa Alquran adalah produk budaya, yang tidak sama dengan kalamullah zaman azali. Bagi Nashr, Alquran juga merupakan karya sastra, sehingga - menurut pemahaman umum - Alquran diasumsikan bukan asli dari Allah, dan Muhammad telah berbohong atasnya.

Nashr juga mengeluarkan pendapat bahwa cerita-cerita ghaib dalam agama, seperti Malaikat, Setan, Jin, dan sebagainya, hanyalah mitos yang tak perlu diyakini. Meyakininya sama saja dengan mengimani mitos. Gagasan-gagasan Nashr membuat ulama setempat geram dan berusaha untuk mengusirnya.

Pasca tiga bulan pengajuan Guru Besarnya, bukannya ia diterima, tapi malah ditolak. Bukan hanya itu, ia pun dilaporkan ke Mahkamah setempat oleh 200 lebih ulama yang kontra karena dianggap telah menghina agama Islam. Nashr dituduh telah murtad, dan harus menceraikan istrinya. Bukan hanya itu, ia pun diusir dari Mesir dan harus meninggalkan tanah Airnya.

Mengeluarkan gagasan bukanlah hal receh. Perlu tantangan dan perjuangan yang keras, bahkan harus berurusan dengan nyawa. Maka tidak elok jika ada manusia yang tidak setuju dengan gagasan manusia lain kemudian dibalas dengan cacian, adu domba, dan ghibah. Maka, ketika kita tidak setuju dengan gagasan orang lain, tak semestinya dibalas dengan bully dan cacian.
wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar