Blogger Widgets PRIVAT BAHASA ARAB BACA KITAB KUNING JAKARTA: Reinterpretasi Ayat-Ayat Kekerasan: Upaya Menyudahi Radikalisme Agama dan Menyemai Perdamaian dalam Bingkai Keindonesiaan
Tingkatkan totalitas menghamba dengan memaksimalkan peran Al-Qur'an dan Al-Hadits, serta peran akal dalam menggapai apa pun yang ingin kita capai dalam dunia atau pun akhirat

Minggu, 27 Agustus 2017

Reinterpretasi Ayat-Ayat Kekerasan: Upaya Menyudahi Radikalisme Agama dan Menyemai Perdamaian dalam Bingkai Keindonesiaan


Oleh Lufaefi
Fakultas Ushuluddin STFI Sadra Jakarta
email: eepivanosky@gmail.com

Pendahuluan

Perdamaian merupakan dambaan setiap insan. Hal itu memberi penegasan bahwa pada dasarnya manusia selalu memiliki cita-cita hidup tentram dan nyaman. Apapun suku dan bangsanya setiap manusia menginginkan hidup bebas dari kekerasan dan intimidasi atas dasar apapun, tak terkecuali bangsa Indonesia. Dalam konteks keindonesiaan, Negara melalui Pancasilanya mencita-citakan perdamaian abadi terhadap seluruh masyarakatnya, apapun agamanya, sukunya, rasnya, dan apapun perbedaan lainnya. Lagi-lagi hal itu mengingatkan bahwa perdamaian adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan umat manusia.

Namun sungguh disayangkan, akhir-akhir ini perdamaian di negara yang memiliki banyak perbedaan ini semakin sempit. Perdamaian menjadi sesuatu yang mahal untuk diraih dalam bingkai keindonesiaan. Berbagai tindakan redikalisme tidak sedikit menjadi penghalang tercapainya perdamaian yang semeskinya menjadi ciri bagi bangsa Indonesia. Praktik-praktik intimidasi atas nama agama menjadi hal yang juga mendukungnya. Anehnya, praktik-praktik tersebut didasari atas teks-teks suci ayat al-Quran yang seharusnya menjadi penyejuk dan petunjuk di setiap waktu dan tempat manapun al-Quran berada (Mustaqim, 2013). Interpretasi terhadap ayat-ayat yang secara leksikal terkesan “radikal” dan ditafsiri secara sempit dan rigid menjadi justifikasi final bagi pemahaman sebagian kelompok untuk menyalahkan dan bahkan meneror siapa saja yang tidak sepaham. Akhirnya ayat al-Quran dan Islam menjadi hal yang menakutkan. Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi al-Quran menjadi agama yang kerap kali dituding sebagai biang kekerasan dan jauh dari perdamaian.
Pada akhirnya, interpretasi yang demikian menjadi pemahaman beberapa kelompok yang mengatasnamakan Islam untuk melegalkan aksi radikalismenya. Interpretasi terhadap ayat-ayat kekerasan yang ditafsiri secara gampangan berpotensi besar memunculkan pertikaian antar kelompok. Lebih-lebih ketika produk tafsirnya dituangkan dalam keindonesiaan dengan banyaknya perbedaan di dalamnya. Dengan itu juga cita-cita untuk menyemai perdamaian dalam bingkai keindonesiaan akan mudah pupus.

Oleh hal demikian, diperlukanlan peninjauan ulang terhadap produk-produk interpretasi yang akan berakibat pada gencarnya radikalisme dan kekerasan. Ayat al-Quran yang terkesan memberi peluang radikalisme atas nama agama perlu di-interprestasi dengan melihat historis dan kontekstualnya. Al-Quran sebagai hudan harus memberi petunjuk untuk menciptakan perdamaian abadi sebagaimana cita-cita berdirinya bangsa dan Negara Indonesia.

Histori Radikalisme Berasaskan Ayat-Ayat al-Quran

Teks keagamaan umat Islam yang multitafsir menjadikannya ditafsiri oleh berbagai latar belakang penafsirnya. Keberadaannya sebagai wahyu yang mati (tak bias berbicara) membuatnya sering ditarik-tarik demi kepentingan pribadi penafsirnya atau kepentingan politiknya. Teks-teks ayat memberi kesempatan untuk ditafsiri oleh kelompok-kelompok manapun, tak terkecuali kelompok radikalis yang kerap kali menafsiri ayat al-Quran secara parsial dan dangkal.
Sepanjang sejarah Islam, banyak ditemukan bentuk-bentuk radikalisme yang didasarkan atas ayat-ayat al-Quran. Sebut saja peristiwa Mihnah yang terjadi pada masa Kholifah Ma’mun yang dilakukan oleh kelompok Muktazilah. Dalam ini kelompok Muktazilah mengintimidasi siapa saja yang tidak sepaham dengannya menggunakan dalil-dalil al-Quran (Abdillah, 2014). Selanjutnya adalah kekerasan yang terjadi saat masa akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib, yaitu oleh Khawarij. Kelompok ini menjadikan ayat-ayat al-Quran dari sisi dohir ayat semata sebagai landasan pergerakannya. Seperti ayat yang artinya siapa saja yang tidak menghukumi dengan hukum Allah maka ia kafir (Al-Maidah: 44) yang diinterpretasikan dengan mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan keyakinannya. Kelompok ini selalu mengandalkan teks ayat-ayat al-Quran untuk dijadikan legitimasi aksinya, dengan mengesampingkan konteksnya. Mereka mengklaim bahwa agama Islam sangat mendukung sekali akan aksi kekerasan-kekerasan (radikalisme) atas nama jihad (Zuhdi, 2012).
Pada masa pra-modern juga ditemukan radikalisme yang dilandasi atas pemahaman keagamaan, yaitu yang dipelopori oleh Abdul Wahhab. Ia mengkafirkan dan membid’ahkan bahkan membunuh siapa saja yang tidak beribadah sesuai leterlek al-Quran dan Hadits. Karena baginya [teks] al-Quran dan al-Hadits adalah mutlak kebenarannya. Tidak boleh ditikungkan ke selain keduanya, harus murni (Fadhl, 2015).
 Sementara itu menurut Haidar Nasir, aksi-aksi radikalisme di Indonesia dengan mengatasnamakan agama muncul setelah runtuhnya orde baru. Gelombang demokrasi yang memberi kesempatan kebebasan tanpa batas dalam mengartikulasikan faham dan keyaninan setiap warga Indonesia menjadi subur. Terutama adalah perihal pembentukan Negara Islam atau hukum Islam yang meski diterapkan di Indonesia dan menggantikan hukum undang-undang yang menurut sebagian kelompok bukan merupakan aturan dari Tuhan. Alasan perihal sekulernya negara Indonesia dan tidak sesuai dengan Islam dan al-Quran membuat beberapa kelompok dengan mudahnya menanggalkan pemahaman agamanya yang sungguh tidak cocok dalam konteks Indonesia sebagai negeri perdamaian (Nashir, 2010). Menurut Khamani Zada kelompok tersebut diantaranya: FPI, MMI dan HTI. Kelompok-kelompok tersebut menggunakan ayat-ayat al-Quran sebagai legitimasi aksinya yang tak jarang menimbulkan aksi-aksi radikalisme di Indonesia (Zada, 2002).

Reinterpretasi Ayat-Ayat Kekerasan

Perlu kita ketahui sebelumnya bahwa, penyebab dari timbulnya radikalisme di muka publik bukanlah karena ayat Al-Quran yang mendorong manusia untuk melakukan hal itu, melainkan karena maraknya interpretasi yang radikal terhadap teks-teks Al-Quran itu sendiri (Bagir, 2017). Hal ini yang sudah semeskinya kita tengok dan tafsiri ulang pemahaman agama kekerasan yang diproduksi oleh kelompok-kelompok radikal atas ayat-ayat al-Quran. Berikut beberapa ayat-ayat (kekerasan) tersebut:
QS. Al-Hajj ayat 39-40:
“Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka didzalimi. Dan sungguh Allah Maha Kuasa Menolong mereka itu,  yaitu orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah”. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong  orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.
Menurut Khamani Zada, ayat ini adalah salah satu ayat yang sering dijadikan legitimasi dalil kelompok-kelompok ekstrem dalam aksi radikalismenya dengan mengatasnamakan jihad. Mereka tidak pernah merasa bahwa aksinya tersebut bertentangan dengan Islam. Sebab meraka merasa telah dilegalkan aksi kekerasannya tersebut oleh al-Quran yang dipahaminya.
Secara sepintas, ayat di atas merupakan sebuah izin dari Allah untuk melakukan peperangan terhadap kaum musyrikin saat itu. Tetapi, menurut Baidlawi bukan berarti ayat ini kemudian dijadikan dalil radikalisme ketika melihat “perbedaan” melekat pada diri orang lain. Karena jika dilihat dari asbabunnuzulnya Rasulullah dan kaum muslimin saat itu mendapatkan perlakuan kasar dan ditindas (secara fisik) oleh kaum musyrikin Makkah dalam waktu yang sudah cukup lama, sementara kaum Muslimin belum bisa melakukan apapun sebelum turunnya ayat ini (Baidhawi, 1438).
Masih menururt Al-Baidhawi, kalimat “telah diizinkan” dalam ayat ini berarti bahwa ada usaha sebelumnya dari kaum Muslim saat itu untuk membela agama Allah dengan cara lain selain melakukan peperangan. Hal ini menunjukan betapa Islam sebagai rahmat lil ‘alamin menghendaki sebuah cara yang damai dan aman untuk mengajak siapapun kejalan-Nya. Tidak diwajibkan perang, terlebih jika tidak adanya penganiayaan fisik oleh mereka. Selain itu, ayat ini juga secara tersirat mengungkapkan kepada pembaca bahwa bukan kaum muslimlah yang pertama kali memicu terjadinya peperangan melainkan orang musyrik itu sendiri. Sehingga ketika keadaan yang mendesak, barulah kaum muslim boleh memerangi.
Sementara itu menurut Ibnu Katsir, bahwa syariat untuk berperang, Tuhan perintahkan kepada manusia agar mereka mengerahkan kemampuannya semaksimal mungkin dalam ketaatan kepada-Nya, bukan memulai memerangi dahulu (Katsir, 1418), seperti yang tercatat dalam surat Muhammad [47]: 04 yang artinya:“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka”.
Maka jelaslah interpretasi bahwa ayat di atas sebagai dalil dibolehkan dan diwajibkan untuk berperang dan memerangi siapa saja yang berbeda merupakan hal yang terlalu terburu-buru. Telah jelas juga bahwa Nabi melakukan peperangan karena diawali perang dan disakiti oleh kaum musyrik dan diperangi secara fisik. Bukan yang lain.
Jika kita kontekstualisasikan dalam keindonesiaan, yang mana masyarakat dapat rukun dengan perbedaan yang ada di dalamnya –  sebab tiadanya penyerangan fisik apapun antar satu kelompok dengan yang lain –  sangat salah untuk mengatakan bahwa ayat di atas sebagai dalil untuk melakukan tindakan radikal kepada orang atau kelompok yang berbeda keyakinan. Perlu ditegaskan lagi, tiadanya penyerangan fisik dan tidak dimulainya peperangan dari Nabi dan kaum Muslim memberi kesimpulan bahwa aksi peperangan fisik dibolehkan manakala ada segolongan yang memerangi kita terlebih dahulu secara fisik. Ketika peperangan saja tidak diizinkan jika tanpa sebab, maka lebih-lebih aksi radikalisme dengan mengatasnamakan jihad, sungguh tidak sedikitpun dilegalkan oleh ayat ini.
QS.At-Taubah [9]: 5:
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Berdasarkan tafsir Jalalain, jika dilihat dari asbabunnuzulnya surat, surat ini merupakan surat “azab”, dan salah satu perintah yang ada dalam surat ini adalah penggunaan pedang (berperang). Artinya bahwa ayat-ayat dalam surat at-Taubah ini sangat jelas berimplikasi dijadikan dalil dalam peperangan dan atau radikalisme oleh siapa saja, tak terkecuali kelompok ekstrimis (Suyuthi dan Mahalli, Tt).
Dari sisi asbabunnuzulnya, ayat ini turun sekitar lima belas bulan sebelum nabi wafat, atau dengan kata lain, surah ini turun sekitar 22 tahun setelah turunnya ayat pertama. Ini menunjukan bahwa Islam selalu mengajak pada perdamaian dan menciptakan suasana aman bagi siapapun tak terkecuali orang Musyrik. Adapun peperangan yang dilakukan nabi ketika di Madinah, mengutip dari tafsiran Quraish Shihab, Muhammad Al-Gazhali menyebutkan bahwa selama 22 tahun Rasulullah melakukan perang, hanya sekitar 200 orang yang meninggal dari kalangan Musyrikin. Dari uraian ini dapat kita ambil sebuah poin, bahwa pada hakikatnya Islam selalu menawarkan jalan yang damai tanpa harus menumpahkan darah sesama manusia. Adapun perang yang kemudian dilakukan kaum muslim itu merupakan perlawanan untuk mempertahankan diri. Rasulullah dan kaum muslim tidak sama sekali memulai memerangi kaum musyrik atau kafir (Shihab, 2002).
Sementara itu, jika kita lihat kekacauan yang terjadi akhir ini-ini, baik di tingkat Internasional maupun nasional (Indonesia), bukan orang-orang non-Islam yang mengangkat pedang untuk berperang, justru malah orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai Islamlah yang kemudian mencederai nama Islam itu sendiri, padahal jelas bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena dapat memberikan kesan  bahwa Islam tidak rahmat lil ‘alamin.
Menurut Quraish Shihab, perintah untuk membunuh di sini bukanlah sesuatu yang diwajibkan melainkan hanya alternatif untuk melawan para kaum musyrikin. Adapun perlawanan yang muslim lakukan tentunya sesuai dengan perlakuan para kaum musyrik terhadap kaum muslim itu sendiri.  Maka dari itu, tidak semua kaum musyrik memerangi kaum muslim, sehingga kaum musyrik yang memiliki kecenderungan untuk beriman kepada agama Islam dan tidak memerangi muslim, kita tidak diperbolehkan untuk memeranginya terlebih dahulu. Hal ini ditegaskan dalam kaliamat terakhir pada ayat di atas yang artinya“Jika mereka bertaubat dan melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, maka lepaskanlah jalan mereka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang”.
Sementara itu Ibn Katsir menjawab persoalan ayat ini dengan menyatakan bahwa ayat tersebut dibatasi QS. Al-Baqarah [2]:191 yang artinya: Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
Sebagaimana penjelasan dari atas, sisi historisitas ayat ini sangat jauh untuk dijadikan legitimasi aksi radikal kepada mereka yang berbeda keyakinan, terlebih jika di Indonesia. Ayat di atas memberi perintah kepada kaum muslimin untuk memerangi kafir hanya untuk mempertahankan diri, bukan memerangi dahulu tanpa sebab. Jika kita pahami dengan benar, maka sungguh jauh ayat ini untuk dimaksudkan bolehnya memerangi kaum yang berbeda keyakinan, terlebih jika adanya tidak menganggu dan tidak memerangi kita sebagaimana non-muslim di Indonesia. Sehingga dengan ini kita tidak butuh pengawasan kekerasan non-muslim. Al-Quran sebagai hudan sudah semeskinya bisa mengharmoniskan antar manusia dengan perbedaannya. Al-Quran meski menjadi penawar kedamaian di antara perbedaan, tak terkecuali di Indonesia, termasuk maksud ayat di atas jika kita tarik melalui asbab an-nuzulnya, yaitu bukan sama sekali melegalkan peperangan tanpa sabab mempertahankan diri dan tanpa diperangi terlebih dahulu.
Perintah Perdamaian dalam Al-Quran
Indonesia adalah negara pluralitas. Berbagai keberagaman di dalamnya, baik agama, suku, ras, budaya, pulau, dan sebagainya, membuatnya harus bisa diharmoniskan satu dengan yang lainnya agar selalu tercipta negara yang utuh dan berperadaban. Kita juga tidak bisa menafikan bahwa Indonesia didomniasi oleh penduduk Muslim. Hal ini menjadi kemungkinan besar keberadaan Muslim lebih berkuasa dari kelompok selainnya. Menjadi sangat mungkin juga kelompok Muslim menguasai apa saja dengan melalui berbagai cara, salahsatunya dengan aksi radikal dengan dalil keagamannya, yaitu dengan ayat-ayat Al-Quran yang berpotensi ditafsiri dengan maksud kekerasan.
Namun, ketika kita sadar bahwa dari sisi historis dan konteks sejatinya ayat-ayat yang terkesan melegalkan kekerasan dan tak hentinya dijadikan dalil pembenaran untuk menuai radikalisme tidak samasekali benar, maka gugurlah cita-cita siapa saja yang ingin mendiskkreditkan kelompok yang tidak sekeyakinan atas nama Islam dan ayat al-Quran. Oleh hal itu, diperlukanlah landasan perdamaian untuk kemultikulturalan negeri ini. Ayat yang memberi indikasi perdamaian harus kita ajukan untuk Indonesia damai. Ayat al-Quran yang menjadi basis dalam merangkul semua perbedaan harus kita munculkan sebagai kritik dan antitesis ayat-ayat kekerasan dan untuk menjunjung tinggi perdamaian.
Sosio-kultural masyarakat Indonesia dengan keberagaman keyainan, faham, agama, dan sebagainya, juga menjadi pertimbangan kuat dalam menuangkan interpretasi ayat-ayat al-Quran dengan konprehensif dan sesuai cita-cita al-Quran sebagai petunjuk dan penyejuk bagi seluruh manusia. Tentu saja hal itu mengingat bahwa al-Quran adalah wahyu kasih sayang yang diturunkan kepada Muhamad sebagai nabi rahmat lil ‘alami, yang semeskinya memberi perdamaian di muka bumi ini, kepada siapa saja.
Ayat al-Quran yang mendorong untuk menyemai dan menciptakan perdamaian (bukan kekerasan) salahsatunya yaitu QS. Al-Bararah [2]: 28:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”
Penjelasan umum mengenai ayat di atas bahwa manusia terbagi menjadi dua golongan, yakni ada yang baik dan ada yang rusak. Golongan pertama hanya mengharapkan keridhoan dari Allah atas amal perbuatannya. Sedangkan golongan kedua yakni yang selalu menimbulkan kerusakan di muka bumi, baik itu tanaman maupun membunuh hewan ternak. Maka dari itu, pada ayat ini Allah memberi nasihat kepada kita bahwa ciri khas orang-orang mukmin ialah bersatu dan bersepakat, bukan pecah belah dan tercerai-berai. Bisa dikatakan bahwa iman seseorang tercemin ketika hatinya dan dirinya telah damai dalam perbedaan (Katsir, 2008).
Pada ayat di atas, menurut Ali Asshabuni, kata Kaffatan diartikan sebagai menuruti hukum-hukum Allah secara keseluruhan dengan dilandasi berserah diri, tunduk dan ikhlas. Adapun pokok-pokok berserah diri kepada Allah ialah cinta damai dan meninggalkan pertempuran di antara orang-orang yang sehidayah. Perintah pada ayat ini menunjukkan arti tetap dan abadi, yang senada dengan firman Allah Swt : dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. QS. Al-Baqarah [2]: 114.
Pada ayat tersebut juga melarang kita untuk mengikuti jalan setan. Jalan setan yang dimaksud yaitu jalan yang menimbulkan radikalisme atas nama agama atau pertentangan dan persengketaan.  Karena setan itu  merupakan lawan/musuh manusia, hidup tanpa perlawanan akan sunyi, sepi, mati tidak ada keindahan, tidak ada kemajuan. Maka dari itu untuk melawan setan perlu “syariat Islam”. Sebagaimana contoh umat Yahudi pada mulanya adalah umat yang bersatu dan berpegangan dengan satu kitab, kemudian datanglah setan dengan menggoda mereka, sehingga pecahlah kesatuan mereka menjadi beberapa sekte dan aliran (Al-Syaukani, 1419).
Menurut Hamka, Islam; al-silmi dalam ayat di atas dapat berarti juga al-Musalamah yang berarti suasana perdamaian di antara dua pihak yang selama ini belum damai. Islam artinya menyerahkan diri, karena segala sesuatu bergantung pada-Nya, dan orang Islam harus menggantungkan diri hanya kepada Allah. Bukan pada manusia, kekuasaan, apalagi syaitan. Betapa Islam dan damai merupakan satu kesatuan yang tak bisa disingkirkan. As-Silmi juga diartikan sebagai salah satu prinsip utama yang ditanamkan Islam dalam jiwa pemeluknya. Kedamaian haruslah tertanam pada kepribadian setiap muslim, karena kehadiran Islam tak lain adalah untuk menyucikan kehidupan pemeluknya. Jelas sekali bahwa aksi kekerasan atas nama apapun semeskinya kita yakini bukan sama sekali mewakili Islam (Hamka, 2003).
Dari beberapa kata di atas dapat disimpulkan bahwa Islam  ialah agama di mana pemeluknya harus taat, patuh, manut, penyelamat, bersih, suci, damai, adil, jujur, tangga/meningkat, dinamis, tulus, ikhlas, dan senang bahagia. Tidak sama sekali melegalkan radikalisme, intimidasi, saling caci maki, dan sebagianya.
Sebagaimana telah kita akui bahwasanya seluruh isi al-Quran dan tuntunan Nabi merupakan pedoman umat Islam yang harus diakui dan diikuti. Semuanya diakui kebenarannya secara mutlak, meskipun secara keseluruhan belum dikerjakan, jangan sampai ada satu peraturan lain yang lebih baik dari peraturan al-Quran. Maka sudah semeskinya kita yakin bahwa kasih sayang dan perdamain dalam hal apapun menjadi hal mutlak yang harus tertanam dalam setiap insan.
Dalam ayat al-Quran yang lain, Allah berfirman “Janganlah kamu ikuti langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang permusuhannya nyata bagimu”, karena setan selalu menggoda manusia, baik yang durhaka apalagi yang taat. Menurut Quraish Shihab, kata Khuthuwat asy-syaithan mengandung isyarat bahwa setan dalam menjerumuskan manusia menempuh jalan bertahap, langkah demi langkah, menyebabkan yang dirayu tidak sadar bahwa dirinya telah terjerumus ke jurang kebinasaan. Tidak terkecuali melalui tindakan radikalisme adalah merupakan langkah-langkah setan.
Dari beberapa penafsiran dan pandangan akan ayat di atas jelas bahwa Islam sebagai agama mayoritas (jika di Indonesia) sangat cocok disatukan dengan maksud agama dan perdamaian. Ketika ayat-ayat radikal hakikatnya tidak samasaekali benar, maka perdamaianlah yang sejatinya tertuang di dalam wahyu Allah. Sangat cocok ketika kemudian dikondisikan di Indonesia sebagai negeri pluralitas. Betapa kedamaian dan perdamaian sudah seharusnya menjadi simbol kehidupan masyarakat Indonesia dengan segala keberagamannya.
Penutup
Radikalisme dalam Islam yang didasari ayat-ayat al-Quran yang terkesan dilegalkan sejatinya hanyalah timbul dari pemahaman yang didapat secara singkat dan statis, tanpa memahami ayat secara komprehensif melalui sisi historisitasnya. Sungguh ayat-ayat yang terkesan kekerasan sejatinya bukanlah ayat-ayat kekerasan sebagaimana justifikasi kelompok radikal, sehingga kita bebas melakukan kekerasan dan intimidasi kepada siapapun yang berbeda keyakinan. Kekerasan atas nama agama sungguh telah keluar dari al-Quran dan agama itu sendiri. Karena sejatinya Islam dan al-Quran adalah ajaran dan wahyu perdamaian.
Penafsiran yang dangkal  jelas sangat mengganggu kesetabilitasan Indonesia sebagai negeri multikultural, yang di dalamnya banyak keyakinan, agama, faham, suku dan ras. Olehnya, penafsiran ayat-ayat kekerasan meski dikaji ulang dari sisi historisnya dan menimbang kontekstualisasinya. Sungguh sejatinya al-Quran tidak sedikitpun membolehkan dan melegalkan aksi-aksi radikalisme atas nama agama. Al-Quran sebagai wahyu yang diturunkan kepada Muhammad, Nabi rahmat lil ‘alamin, adalah wahyu perdamaian dan mengajarkan kasih sayang kepada siapa saja. Al-Quran sudah semeskinya menjadi pemersatu keberagaman keyakinan (khususnya di Indonesia), agar cita-cita sebagai wahyu dan penyejuk dapat tercapai untuk Indonesia damai.

Contac: 08977854425

Tidak ada komentar:

Posting Komentar