Blogger Widgets PRIVAT BAHASA ARAB BACA KITAB KUNING JAKARTA: Full Day School (FDS) dan Akar Radikalisme di Indonesia
Tingkatkan totalitas menghamba dengan memaksimalkan peran Al-Qur'an dan Al-Hadits, serta peran akal dalam menggapai apa pun yang ingin kita capai dalam dunia atau pun akhirat

Senin, 28 Agustus 2017

Full Day School (FDS) dan Akar Radikalisme di Indonesia

Oleh Lufaefi
Email: eepivanosky@gmail.com
HP: 08977854425

Sekolah merupakan tempat dimana anak-anak belajar tentang banyak hal. Dalam tempat pendidikan tersebut selain seorang anak mengenal banyak mata pelajaran, mereka juga mengenal kondisi lingkungan dan sosialnya, dari mulai berinteraksi dengan guru, teman sekelas, teman ekstrakurikuler, bahkan – tidak menutup kemungkinan – mengenal dunia luar sekolah bersama teman-teman satu sekolahnya. Sekolah menjadi tempat yang sangat vital dalam mencetak karakter seorang anak untuk tumbuh menjadi dewasa. Akan tetapi, interaksi siswa dengan orang tuanya juga harus diwujudkan guna membentengi dan mengawasi interaksinya dengan hal-hal yang akan merusak karakternya. Hubungan emosional antar siswa dan orang tua harus diindahkan demi tercegahnya anak-anak dari kondisi sosial yang membahayakan.

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia gempar dengan kebijakan full day school (FDS) yang dilayangkan oleh Mendikbud Muhadjir Effendi. Alih-alih berangkat dari kebutuhan penguatan pendidikan karakter bagi siswa setingkat SD, SMP dan SMA, FDS justru mengancam matinya lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini telah banyak memberi kontribusi lebih dari sekadar menanamkan karakter anak bangsa. Adalah Madrasah Diniyah (MADIN), sebuah lembaga Islam yang telah menjaga dan merawat anak-anak Indonesia untuk tumbuh mengenal kesantunan, keragaman, kemoderasian, dan keindonesiaan.

FDS dan Pengawasan Orang Tua

Sebagaiaman diketahui bahwa full day school (FDS) adalah sebuah sistem sekolah yang memberlakukan jam sekolah sehari penuh antara jam 07.00 – 16.00 WIB. Dengan kebijakan seperti ini, maka waktu dan kesibukan anak-anak lebih banyak dihabiskan di lingkungan sekolah dari pada di rumah dengan berinteraksi dan diawasi oleh orang tua. Lebih jauh lagi anak-anak, baru akan sampai di rumah antar jam 17.00 – 18.00 sore. Setelah sampai rumah tidak bisa kita nafikan hanya rasa capek dan lelah yang mereka rasakan, dan tidur pun menjadi alternatif terakhir untuk menghilangkan rasa letih akibat seharian sekolah tersebut.
Keesokan harinya, ketika anak-anak baru bangun dari tidurnya, mau tidak mau harus bersiap-siap untuk kembali menuju tempat sekolah, dan akan menjalankan aktivitas seperti biasa dari jam 07.00 – 16.00 WIB. Begitulah seterusnya setiap hari, anak-anak digempur dengan full time kegiatan bersekolah. Endingnya, kegiatan yang terus menerus dari pagi hingga sore mengakibatkan mereka jarang tersentuh oleh nasihat orang tua. Interaksi batin antar diri mereka dengan orang tuanya hampir hilang. Kondisi inilah yang mengakibatkan otak mereka mudah tersentuh pemahaman-pemahaman luar tanpa adanya filter dari orang tuanya. Kondisi sosial siswa di sekolah, khususnya di luar sekolah bersama teman-temannya, berpotensi masuknya ajaran-ajaran yang akan menipu dirinya dengan kedok agama.
Hal di atas senada dengan apa yang dikatakan oleh Amrizal Inspektur Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), bahwa radikalisme dan terorisme di Indonesia yang sebagain besar dilakukan oleh pemuda disebabkan karena kurangnya pengawasan orang tua terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak-anaknya (Guntoro, 2017). Ketika sekolah berlangung dalam waktu sehari full dan minimnya pengawasa orang tua, kemungkinan besar akan banyaknya pemahaman dan ideologi yang menghampiri mereka untuk kemudian terjerumus dalam aksi-aksi radikalisme dan terorisme.

FDS dan Karakter Orang Indonesia

Selain dampak yang telah disebutkan di atas bahwa FDS dapat membuka ruang radikalisme kepada para siswa karena kurangnya pengawasan dari orang tua, FDS juga akan menjauhkan karakter anak-anak dari watak sebagai bangsa Indonesia yang santun dan menghargai perbedaan. Hal ini bermula dari fakta bahwa ketika tidak diberlakukannya FDS dan anak-anak pulang ke rumah lebih cepat, mereka terjaga dalam pengawasan orang tua, dan sebagian besar yang lain belajar di Madrasah Diniyah (MADIN); lembaga pendidikan yang terbukti telah mencetak karakter bangsa Indonesia yang santun dan menghargai perbedaan yang ada dalam negara yang multikultural ini.

Pernyataan bahwa pembelajaran MADIN dapat mencetak generasi bangsa yang memiliki karakter yang santun dan juga beradab, adalah sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Zahratul Khusna. Penelitian skripsi di IAIN Salatiga (2014) tersebut menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan MADIN bagi seorang siswa sangat besar dalam membentuk karakter yang santun dan menghormati perbedaan (Khusna, 2014). Sehingga dengan pendidikan agama yang mereka peroleh di MADIN, sangat mendukung pribadi anak dalam menjauhi perilaku terorisme ataupun radikalisme yang dapat mengancam diri dan bangsanya. Sebaliknya, aturan FDS yang menjauhkan anak-anak dari pendidikan di MADIN – bahkan akan mematikan MADIN – sangat berpotensi untuk menumbuhkan karakter yang minim penghormatan terhadap keberagaman, minim keagamaan, dan minim adab, yang endingnya akan mengakibatkan gampangnya pemahaman-pemahaman radikal akan menyusup dalam fikirannya.

FDS dan Masa Depan Ahlussunah Wal Jamaah

Konsekuensi diberlakukannya Perkemendikbud full day school (FDS) akan mengakibatkan anak-anak kehilangan waktu belajar di Madrasah Diniyah (MADIN). Hal tersebut karena jam belajar di MADIN di mulai antar jam 13.00 – 15.00 WIB yang tentunya bentrok dengan aktivitas sekolah yang baru akan selesai pada jam 16.00 atau 17.00 WIB. Bagi anak-anak, tidak ada jalan lain kecuali memilih aturan sekolah sebagai pendidikan formal daripada memilih MADIN yang hanya pendidikan non-formal.

Konsekuensi selanjutnya, pendidikan agama tersebut akan mati tergerus oleh FDS. Pada akhirnya, tergerusnya MADIN juga akan mengakibatkan tergerusnya kesempatan anak-anak untuk memahami ajaran-ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam MADIN anak-anak diajarkan keyakinan-keyakinan yang sudah menjadi pondasi keagamaan umat Islam Indonesia, yaitu ASWAJA. Di dalam MADIN, anak akan diajarkan sifat-sifat wajib bagi Allah dan Rasul-Nya, sifat mustahil bagi Allah dan Rasul-Nya dan sifat jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya. Tidak hanya itu, MADIN juga mengajarkan fikih, akidah, tajwid, dan ilmu keislaman lainnya yang tidak ditemukan di sekolah-sekolah formal. MADIN terus menguatkan pendidikan anak untuk mengenal dan meyakini faham Asy’ariyyah sejak dini, sebagai benteng menjadi muslim yang santun dan menghargai perbedaan (Aqil Siroj, 2017).

Mengapa ajaran ASWAJA akan menjadi filter anak-anak untuk bersikap santun dan moderat, serta tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang berbau radikalisme? Jelas, sebab di dalam Aswaja diyakini bahwa seorang muslim harus menjalankan empat prinsip, yaitu tawassuth (moderat), tasammuh (toleransi), tawazun (seimbang), dan ta’addul (adil). Empat sikap tersebut sebagai benteng anak bangsa dalam menangkal tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan runtuhnya kebhinekaan bangsa Indonesia yang dipelajari sejak anak dalam usia dini..
FDS VS Islam Rahmatal Lil ‘Alamin

Kita semua sadar bahwa Indonesia adalah negeri yang di dalamnya terdapat banyak keberagaman, baik keberagaman ras, suku, budaya, etnis, dan agama. Islam sebagai agama yang sempurna harus menjadi rahmat bagi seluruh alam. Semua alam harus dinaungi oleh keberadaan Islam yang santun dan menyejukkan. Di sinilah sebagaimana menururt Mukafi bahwa Pesantren dan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) memiliki peran yang besar dan strategis dalam membangun format Islam rahmatal lil ‘alamin. Madrasah Diniyah menjadi titik sentral dalam menciptakan karakter bangsa yang mencintai keislaman dan keindonesiaan yang multikultural (Mukafi, 2016).
Sebaliknya, ketika kesempatan belajar anak-anak terhalang oleh aturan FDS yang mengharuskan mereka pulang sore, bahkan malam, maka terhalang juga kesempatan anak bangsa dalam mengenal dan mengimplementasikan Islam rahmatal lil ‘alamin. Sopan santun dan adab mereka akan ditinggalkan. Bahkan, nikmat sebagai warga Muslim Indonesia akan pupus ketika mereka jauh dari sentuhan-sentuhan Islam yang ramah yang cocok bagi Indonesia. Kondisi yang mengharuskan mereka manut terhadap aturan FDS, juga mengharuskan mereka untuk tidak tersentuh nilai-nilai Islam yang ramah yang sudah menjadi ajaran Madrasah Diniyah (MADIN).

Akar Radikalisme

Ketika anak bangsa sudah tergerus oleh aturan FDS, maka produk anak madrasah yang semeskinya memberikan peran dalam berislam secara toleran akan sirna. Ditambah lagi dengan kondisi sekarang yang sedang maraknya isu-isu radikalisme. Tentu saja ketika terus dibiarkan maka radikalisme akan semakin bertambah dan meluas, sementara produksi anak bangsa yang memiliki potensi sebagai filter radikalisme menururn drastis, bahkan bisa hilang dengan diberlaskukannya full day school (FDS) (Emhas, 2017). Di sinilah kahawatiran yang akut sudah semeskinya menjadi pekerjaan rumah bersama bagi seluruh elemen bangsa Indonesia dan mencari solusi alternatif untuk menanggulangi kehawatiran yang sunggu tidak diinginkan. Radikalisme akan menjadi isu yang terus melambung dengan fenomena matinya Madrasah Diniyah (MADIN). Bahkan, akar radikalisme akan terus subur dengan tergerusnya pendidikan agama yang sudah terbukti banyak memberi kontribusi dalam membangun bangsa yang santun dan akur dalam multikulturalnya.

Meninjau Ulang FDS, Menumbuhkan Kebhinekaan

Betapa FDS memberi efek yang tidak diinginkan bagi bangsa ini. Alih-alih dicuatkan untuk membentuk karakter anak bangsa melalui pendidikan, justru melemahkan bahkan merugikan keberagaman dan kebhinekaan yang sudah lama tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud Muhadjir Effendi meski ditinjau ulang – untuk tidak mengatakan dibatalkan – demi mempertahankan kebhinekaan kita.
Kita sadar bahwa tidak semua karakter siswa se-Indonesia sama, tidak sama antar budaya lokal satu anak dengan anak yang lainnya, pun, tidak semua sama kehidupan orang tua satu siswa dengan orang tua siswa yang lainnya. Betapa keberagaman di negeri ini harus dijaga dan dirawat, salahsatunya dengan meninjau ulang keputusan Kemendikbud tentang FDS. FDS tidak perlu diberlakukan pada sekolah atau madrasah yang di dalamnya didapati siswa yang juga mengenyam pendidikan di Madrasah Diniyah (MADIN). Bahkan alangkah lebih baik juga, jika Perkemendikbed dibatalkan demi mengantisipasi aksi radikalisme dan terorisme yang berpotensi besar akan muncul ketika siswa-siswa tidak dibekali dengan pendidikan agama di Madrasah Diniyah (MADIN).

Jakarta, 28 Agustus 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar